Salah satu Penghujat dan Penggugat Islam mengajukan beberapa hadist yang menceritakan Nabi Muhammad SAW pernah terkena Sihir, dan Hadist tersebut dijadikan sebagai Alat pembenaran untuk menyerang Kenabian Muhammad Saw.
Berikut ini Hadist hadist yang dijadikan alat oleh para Penghujat dan Penggugat Islam:
Diriwayatkan Aisha:Pernah sang nabi tersihir hingga dia mulai merasa telah melakukan hal2 yang sebenarnya tidak dia lakukan. (Sahih Al-Bukhari, Volume 4, Book 53, Number 400)Diriwayatkan Aisha:Sihir bekerja pada diri sang nabi hingga dia berkhayal telah melakukan hal yang sebenarnya tidak dia lakukan. Satu hari dia menyebut (Allah) utk waktu lama lalu berkata, “Kurasa Allah telah mengilhamiku bagaimana caranya menyembuhkan diriku sendiri. Dua orang datang padaku (dalam mimpi) dan duduk, satu dikepalaku dan satu lagi dikakiku. Satu dari mereka bertanya pada yang lain, “Apa penyakit orang ini?” yang lain menjawab, “Dia telah tersihir” Yang pertama bertanya, “Siapa yang menyihir?” Yang lain menjawab, “Lubaid bin Al-A’sam.” Yang pertama bertanya, “Bahan2 apa yang dia pakai?” Yang lain menjawab, “Sebuah sisir, rambut pada sisir itu, dan kulit luar dari tepung sari pohon kurma jantan.” Yang pertama bertanya, “dimana?” Yang lain menjawab, “Di sumur Dharwan.”” Jadi, nabi keluar kearah sumur dan kembali lalu berkata pada aku sekembalinya, “Kurmanya (dari pohon kurma dekat sumur) mirip kepala iblis.” Aku bertanya, “Apa kau cabut benda2 yang dipakai sihir itu?” Katanya, “Tidak, karena aku telah disembuhkan Allah dan aku takut tindakan ini akan menyebabkan tersebarnya kejahatan diantara orang2.” Belakangan sumur itu ditimbun tanah. (Sahih Al-Bukhari, Volume 4, Book 54, Number 490)Diriwayatkan Aisha:Seseorang menyebut Labid bin al-A’sam dari suku Bani Zaraiq melakukan sihir pada Rasul sampai Rasul Allah mulai berkhayal melakukan hal2 yang sebenarnya tidak dia lakukan. Satu hari atau satu malam dia bersama kita, dia sebut2 Allah dan menyebut2 lamanya waktu, dan lalu berkata, “O Aisha! Tahukah kau bahwa Allah memerintahkanku tentang masalah yang kutanya padaNya? Dua orang menemuiku dan duduk, satu dikepalaku dan satu lagi dikakiku. Satu dari mereka bertanya pada yang lain, “Apa penyakit orang ini?” yang lain menjawab, “Dia telah tersihir” Yang pertama bertanya, “Siapa yang menyihir?” Yang lain menjawab, “Lubaid bin Al-A’sam.” Yang pertama bertanya, “Bahan2 apa yang dia pakai?” Yang lain menjawab, “Sebuah sisir, rambut pada sisir itu, dan kulit luar dari tepung sari pohon kurma jantan.” Yang pertama bertanya, “dimana?” Yang lain menjawab, “Di sumur Dharwan.”” Jadi, nabi keluar kearah sumur dan kembali lalu berkata pada aku sekembalinya, “O Aisha, warna airnya seperti disepuh daun Henna (merah). Bagian atas dari pohon kurma dekatnya mirip kepala setan.” Aku tanya, “O Rasul? Kenapa tidak kau perlihatkan (pada orang2)?” Dia bilang, “Karena Allah menyembuhkanku, aku tidak suka membiarkan kejahatan disebarkan diantara orang2.” Lalu dia perintahkan sumur itu ditimbun tanah. (Sahih Al-Bukhari, Volume 7, Book 71, Number 658)
TAnggapan:
Mengenai hal ini Buya Hamka memberikan penjelasannya dalam tafsir Azhar QS. Al Falaq
Benarkah Nabi Muhammad S.a.w.Pernah Kena Sihir?
Menurut yang dinukil oleh asy-Syihab dari kitab “at-Ta’wilat” karangan Abu Bakar al-Asham darihal peristiwa Nabi s.a.w. kena sihir. Menurut beliau ini, Hadis berkenaan dengan Nabi s.a.w. kena sihir itu adalah matruk, artinya ialah Hadis yang mesti ditinggalkan dan tidak boleh dipakai. Karena kalau Hadis demikian diterima, berarti kita mengakui apa yang didakwakan oleh orang kafir, bahwa Nabi s.a.w. telah (mempan[1]) kena sihir. Padahal yang demikian itu sangat bertentangan dengan Nash yang ada dalam al-Quran sendiri. Dengan tegas Tuhan berfirman:
َاللّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ – المائدة 67
“Allah memelihara engkau dari manusia” – al-Maidah: 67
وَلوَلوَلاَ يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى طه 69
“Dan tidaklah akan berjaya tukang sihir itu, bagaimanapun datangnya.” (Thaha: 69)
Dan lagi kalau riwayat Hadis itu diterima, berarti kita menjatuhkan martabat nubuwwah. Dan lagi, kalau Hadis itu dibenarkan, berarti bahwa sihir bisa saja membekas kepada Nabi-nabi dan orang-orang yang shalih, yang berarti mengakui demikian besar kekuasaan tukang-tukang sihir yang jahat itu sehingga dapat mengalahkan Nabi; dan semuanya itu adalah tidak benar! Dan orang-orang kafir pun dapat saja merendahkan martabat Nabi-nabi dan orang-orang yang shalih itu dengan mencap “Mereka itu kena sihir.” Dan kalau benar-benar hal ini terjadi, niscaya benarlah dakwa orang-orang yang kafir, dan dengan demikian jelaslah Nabi Shallallahu `alaihi wa sallama ada aibnya, dan ini adalah tidak mungkin.” – Sekian disalinkan dari at-Ta’wilat buah tangan Abu Bakar al-Asham tersebut.
Hadis Nabi kena sihir ini termasuk dalam catatan Hadis Shahih yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, yang berasal dari Hadis Aisyah, bahwa beliau s.a.w. pernah disihir oleh seorang Yahudi dari Bani Zuraiq; namanya Labid bin al-A`sham. لَبيد بن الأعصم Dikatakan dalam Hadis itu bahwa Nabi merasa seakan-akan beliau berbuat sesuatu padahal tidaklah pernah diperbuatnya.
Demikianlah beliau rasakan beberapa lamanya. Sampai pada suatu waktu Nabi berkata kepada Aisyah: “Hai Aisyah! Aku diberi perasaan bahwa Allah memberi fatwa kepadaku pada perkara yang aku meminta fatwa padaNya; maka datanglah kepadaku dua malaikat, yang seorang duduk ke sisi kepalaku dan yang seorang lagi di sisi kakiku. Lalu berkata yang duduk dekat kepalaku itu kepada yang duduk di ujung kakiku: “Orang ini diobatkan orang!” (Disihir? Kawannya bertanya: “Siapa yang mengobatkannya? (Menyihirnya?).
Yang di kepala menjawab: “Labid bin al-A’sham.”Kawannya bertanya: “Dengan apa?”
Yang di kepala menjawab: “Pada kudungan[1] rambut dan patahan sisir dan penutup kepala laki-laki, dihimpit dengan batu dalam sumur Dzi Auran.” – Tersebut di hadis itu bahwa Nabi pergi ke sumur itu
membongkar ramuan yang dihimpit dengan batu itu dan bertemu.
Dalam riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah s.a.w. menyuruh Ali bin Abu Thalib dan Zubair bin Awwam dan `Ammar bin Yasir memeriksa sumur itu dan mencari ramuan tersebut. Lalu ditimba air sumur itu dan diselami ke bawah sampai bertemu bungkusan ramuan tersebut yang dihimpit dengan batu. Yang bertemu di dalam kain kasah bungkusan itu ialah guntingan rambut Nabi s.a.w., patahan sisir beliau dan sebuah potongan kayu yang diikat dengan 11 buah ikatan dan di tiap ikatan itu ditusukkan jarum. Lalu diturunkan Allah kedua Surat ini, jumlah ayat keduanya, “al-Falaq dan an-Nas” ialah 11 ayat pula. Tiap-tiap satu ayat dibaca, dicabut jarum dan dibuka buhulnya, dan tiap satu jarum dicabut dan satu buhul diungkai, terasa satu keringanan oleh Nabi s.a.w., sehingga sampai diuraikan buhul dan dicabut jarum yang 11 itu; dan terasa oleh Nabi s.a.w. bahwa beliau sembuh sama sekali.
Lalu bertanyalah mereka kepada beliau: “Apakah orang jahat itu tidak patut dibunuh saja?”
Beliau menjawab: “Allah telah menyembuhkan daku, dan aku tidak suka berbuat jahat kepada orang.”
Dalam riwayat yang dibawakan oleh al-Qusyairi pun tersebut bahwa seorang pemuda Yahudi bekerja sebagai khadam Nabi s.a.w. Pada suatu hari anak itu dibisiki oleh orang-orang Yahudi supaya mengambil rambut-rambut Nabi yang gugur ketika disisir bersama patahan sisir beliau, lalu diserahkannya kepada yang menyuruhnya itu. Maka mereka sihirlah beliau, dan yang mengepalai mensihir itu ialah Labid bin al-A’sham. Lalu al-Qusyairi menyalinkan lagi riwayat Ibnu Abbas tadi.
Supaya kita semuanya maklum, meskipun beberapa tafsir yang besar dan ternama menyalin berita ini dengan tidak menyatakan pendapat, sebagai Tafsir al- Qurthubi, Tafsir al-Khazin bagi Ibrahim al-Baghdadi; malahan beliau ini mempertahankan kebenaran riwayat itu berdasar kepada shahih riwayatnya, Bukhari dan Muslim. Namun yang membantahnya ada juga. Di antaranya Ibnu Katsir.
Ibnu Katsir setelah menyalinkan riwayat ini seluruhnya, membuat penutup demikian bunyinya; “Demikianlah mereka riwayatkan dengan tidak lengkap sanadnya, dan di dalamnya ada kata-kata yang gharib, dan pada setengahnya lagi ada kata-kata yang mengandung nakarah syadidah (sangat payah untuk diterima). tetapi bagi setengahnya ada juga syawahid (kesaksian-kesaksian) dari segala yang telah tersebut itu.”
Almarhum orang tua saya dan guru saya yang tercinta, Hadratusy-Syaikh Dr. Abdulkarim Amrullah di dalam Tafsir beliau yang bernama “al-Burhan” menguatkan riwayat ini juga. Artinya, bahwa beliau membenarkan bahwa Nabi s.a.w. kena sihir. Dengan alasan Hadis ini adalah shahih, Bukhari dan Muslim merawikan. Dengan menulis begitu beliau membantah apa yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juzu’ ‘Ammanya. Karena Syaikh MuhAnmad Abduh menguatkan juga, sebagai yang tersebut di dalam kitab at-Ta’wilat, buah tangan Abu Bakar al-Asham yang telah kita salinkan di atas tadi, bahwa tidaklah mungkin seorang Nabi atau Rasul, ataupun orang yang shalih dapat terkena oleh sihir, berdasar kepada firman Tuhan sendiri di atas tadi pun telah kita salinkan, (al-Maidah ayat 67, dan Thaha, ayat 69). Bahwa tidak mungkin sihir dapat mengena kepada seseorang kalau Allah tidak izinkan. Dan terhadap kepada Rasul-rasul dan Nabi-nabi sudah dipastikan oleh Tuhan bahwa sihir itu akan gagal, walau dengan cara bagaimana pun datangnya.
Maka Penafsir yang sezaman dengan kita ini yang menolak Hadis itu, walaupun shahih, Bukhari dan Muslim yang merawikan, ialah Syaikh Muhammad Abduh dalam Tafsir Juzu”Ammanya, al-Qasimi dengan tafsir “Mahasinut-Ta’wil”nya yang terkenal, dan yang terakhir kita dapati ialah Sayid Quthub di dalam tafsirnya “Fi Zhilalil Quran” menegaskan bahwa Hadis ini adalah Hadis al-Ahad, bukan mutawatir. Maka oleh karena jelas berlawan dengan ayat yang sharih dari al-Quran tidaklah mengapa kalau kita tidak percaya bahwa Nabi Muhammad bisa terkena oleh sihir walaupun perawinya Bukhari dan Muslim. Beberapa Ulama yang besar-besar, di antara Imam Malik bin Anas sendiri banyak menyatakan pendirian yang tegas menolak suatu Hadis al-Ahad kalau berlawanan dengan ayat yang sharih. Misalnya beliau tidak menerima Hadis bejana dijilat anjing mesti dibasuh 7 kali, satu kali di antaranya dengan tanah. Karena di dalam al-Quran ada ayat yang terang jelas, bahwa binatang buruan yang digunggung anjing dengan mulutnya, halal dimakan sesudah dibasuh seperti biasa dengan tidak perlu 7 kali, satunya dengan air.
Ulama yang banyak mencampurkan “Filsafat” dalam tafsimya atau memandang segala soal dari segi Filsafat dan Ilmu Alam, yaitu Syaikh Thanthawi Jauhari menulis tentang Hadis Nabi kena sihir itu demikian; “Segolongan besar ahli menolak Hadis-hadis ini dan menetapkannya sebagai merendahkan martabat Nubuwwat. Dan sihir yang menyebabkan Nabi merasa seakan-akan dia berbuat sesuatu padahal dia bukan berbuat, adalah amat bertentangan dengan Kebenaran, dipandang dari dua sudut:
Pertama; Bagaimana Nabi s.a.w. dapat kena sihir; ini adalah menimbulkan keraguan dalam syariat. Kedua; Sihir itu pada hakikatnya tidaklah ada.
Alasan ini ditolak oleh yang mempertahankan. Mereka berkata: “Sihir itu tidaklah ada hubungannya melainkan dengan hal-hal yang biasa terjadi saja. Dia hanyalah semacam penyakit. Sedang Nabi-nabi itu dalam beberapa hal sama saja dengan kita orang biasa ini; makan minum, tidur bangun, sakit dan senang. Kalau kita mengakui kemungkinannya tidur, mesti kita akui kemungkinan beliau yang lain. Dan yang terjadi pada Nabi kita ini hanyalah semacam penyakit yang boleh saja terjadi pada beliau sebagai manusia, dengan tidak ada pengaruhnya sama sekali kepada akal beliau dan wahyu yang beliau terima.
Dan kata orang itu pula: “Pengaruh jiwa dengan jalan mantra (hembus atau tuju) kadang-kadang ada juga, meskipun itu hanya sedikit sekali. Maka semua ayat-ayat dan Hadis-hadis ini dapatlah memberi dua kesan; (1) Jiwa bisa berpengaruh dengan jalan membawa mudharrat, dan jiwa pun bisa berpengaruh membawa yang baik. Maka si Labid bin al-A’sham orang Yahudi itu telah menyihir Nabi dan membekaskan mudharrat. Namun dengan melindungkan diri kepada Allah dengan kedua Surat “al-Falaq” dan “an-Nas”, mudharrat itu hilang dan beliau pun sembuh.” – Sekian Syaikh Thanthawi Jauhari.
Tetapi ada satu lagi yang perlu diingat! Kedua Surat ini tidak turun di Madinah, tetapi turun di Makkah, dan di Makkah belum ada perbenturan dengan Yahudi.
Sekarang mari kita lihat pula betapa pendapat Jarullah az-Zamakhsyari di dalam tafsimya “al-Kasysyaf”. Tafsir beliau terkenal sebagai penyokong Aliran Mu`tazilah, sebagai ar-Razi penyokong Mazhab asy-Syafi`i. Penganut faham Mu`tazilah tidaklah begitu percaya terhadap pengaruh sihir, atau mantra atau tuju sebagai yang kita katakan di atas tadi.
Sebab itu maka seketika menafsirkan ayat 4; “Dan daripada kejahatan perempuan-perempuan yang meniup pada buhul-buhul,” beliau menafsirkan demikian:
“Perempuan-perempuan yang meniup, atau sekumpulan perempuan tukang sihir yang membuhulkan pada jahitan, lalu disemburnya dengan menghembus. Menyembur ialah menghembus sambil menyemburkan ludah. Semuanya itu sebenamya tidaklah ada pengaruh dan bekasnya, kecuali kalau di situ ada semacam ramuan yang termakan yang memberi mudharrat, atau terminum atau tercium, atau
yang kena sihir itu menghadapkan perhatian kepadanya dari berbagai wajah. Tetapi Allah Azza wa Jalla kadang-kadang berbuat juga suatu hal pada seseorang untuk menguji keteguhan hatinya, apakah dia orang yang belum mantap fahamnya atau orang awam yang masih bodoh. Maka orang-orang yang dungu dan yang berfikir tidak teratur mengatakan kesakitan yang ditimpakan Allah kepadanya adalah karena perbuatan orang! Adapun orang yang telah mendapat ketetapan pendirian karena teguh imannya tidaklah dapat dipengaruhi oleh itu. Kalau engkau bertanya kepadaku: “Kalau demikian apakah yang dimaksud dengan bunyi ayat melindungkan diri kepada Allah dari kejahatan perempuan yang meniup pada buhul-buhul itu?
Saya akan jawab dengan tiga macam keterangan:
(1) Artinya ialah berlindung kepada Allah dari kejahatan mereka itu, yaitu membuat ramuan sihir, dan berlindung kepada Allah dari dosanya.
(2) Berlindung kepada Allah daripada kepandaian wanita-wanita itu memfitnah manusia dengan sihirnya dan penipuannya dengan kebatilan.
(3) Berlindung kepada Allah jangan sampai Allah menimpakan suatu mushibah tersebab semburannya itu.” — Sekian kita salin.
Dan di dalam Tafsirnya “al-Kasysyaf” itu tidak ada dia menyinggung-nyinggung Hadis-hadis yang mengatakan Nabi pemah kena sihir orang Yahudi itu. Karena menurut isi keterangan di atas, meskipun memang ada perempuan mengadakan mantra, menyembur, meniup, namun bekasnya tidak akan ada, kecuali kalau ada yang termakan, terminum, tercium atau tersentuh barang ramuan yang membahayakan. Artinya serupa juga dengan racun.
Maka menurut pendapatnya itu, sedangkan kepada manusia yang biasa tidak ada bekas hembus dan sembur itu, apatah lagi kepada Nabi s.a.w.
Pendapat yang dipilih oleh penafsir Abu Muslim lain lagi. Beliau menafsirkan ayat berlindung daripada kejahatan perempuan-perempuan yang meniup pada buhul-buhul itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan sihir. Menurut beliau buhul-buhul yang dimaksud di ujung ayat 4 ini ialah suatu maksud atau rencana yang telah disusun oleh seorang laki-laki. Perempuan meniup-niup itu menurut beliau ialah bujuk dan rayuan perempuan, yang dengan lemah-lembut, lenggang-lenggok gemalai terhadap laki-laki, merayu dan membujuk, sehingga maksud laki-laki yang tadinya telah bulat menjadi patah, sehingga rencananya berobah dan maksudnya bertukar. Berdasar kepada ayat 28 dari Surat 12, Surat Yusuf;
إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ يوسف 28
“Sesungguhnya tipudaya kalian sangatlah besarnya, hai perempuan.”
Berapa banyaknya benteng-benteng pertahanan laki-laki menjadi runtuh berantakan karena ditembak oleh peluru senyuman dan bujuk rayuan perempuan.
Matra dapatlah kita ambil kesimpulan bahwasanya masalah tentang Hadis yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim tentang Nabi s.a.w. kena sihir oleh orang Yahudi itu, sampai sihir itu membekas kepada beliau, bukanlah baru zaman sekarang dibicarakan orang. lbnu Qatibah telah memperbincangkannya di dalam `Ta’wil, Mukhtalafil-Hadits”, dan ar-Razi pun demikian pula. Keduanya sama-sama patut dipertimbangkan. Adapun pendapat az-Zamakhsyari yang mengadakan sama sekali pengaruh sihir, dapatlah kita tinjau kembali setelah maju penyelidikan orang tentang kekuatan Roh (Jiwa) manusia, tentang pengaruh jiwa atas jiwa dari tempat yang jauh, sebagai telepathi[1] dan sebagainya.
Dan kita cenderunglah kepada pendapat bahwasanya Jiwa seorang Rasul Allah tidaklah akan dapat dikenai oleh sihimya seorang Yahudi. Jiwa manusia yang telah dipilih Allah (Mushthafa) bukanlah sembarang jiwa yang dapat ditaklukkan demikian saja. Sebab itu maka pendapat Syaikh Thanthawi Jauhari yang menyamakan Roh seorang Rasul dengan Roh manusia biasa, karena sama-sama makan sama tidur, sama bangun dan sebagainya adalah satu pendapat yang meminta tinjauan lebih mendalam!
0 Komentar