Pernahkah anda membaca atau mendengar pernyataan bodoh yang dilontarkan untuk menghina dan memfitnah Islam dengan menyatakan bahwa sebenarnya Islam menyembah Ur, atau Dewa Bulan, seperti tertulis dalam buku karangan Robert Morey?

Berikut sedikit petikannya:
“Simbolisme DEWA BULAN adalah SABIT. Tetapi sabit bukanlah wujud aslinya (dalam keyakinan Arab).

Biasanya, di atap rumah ibadah (agama apapun) akan dipancangkan simbol dari sesembahan agama tersebut. Suatu misal, gereja. Di atas bangunan gereja, di kubahnya, biasanya ditaruh simbol salib. Kenapa salib? Karena Tuhannya Kristen adalah Yesus. Itulah kenapa di atas rumah ibadah orang Kristen dipasang simbol salib. Jadi, simbol yang dipasang di atas rumah ibadah adalah simbol Tuhannya agama tersebut.

Nah, sekarang mesjid sebagai tempat ibadahnya agama Islam. Di atas kubah masjid, juga demikian, dipasang simbol dari tuhannya agama Islam. Siapakah tuhannya Islam? Tuhannya Islam adalah allah swt. Maka dari itu, di atas kubah masjid dipasang tulisan Arab yang artinya “allah”. Dan di lain kesempatan, bisa juga tulisan itu diganti dengan simbol bulan sabit (dan bintang). Nah, ini artinya, SABIT adalah simbolnya allah swt.

Berdasarkan temuan sejarah, SABIT (plus bintang) adalah simbol dari DEWA BULAN. Jadi ini bukan kebetulan, tapi memang benar adanya bahwa allah swt yang disembah bangsa Arab khususnya Islam adalah DEWA BULAN.

Baiklah, mari kita bahas asal muasal Lambang Bulan Sabit dan Bintang dalam Islam.
Ada beberapa versi pengamat sejarah mengatakan bahwa sebenarnya asal muasal lambang bulan bintang berasal dari lambang khilafah Islamiyah terakhir yang dimiliki umat Islam, yaitu Khilafah Turki Utsmani. Khilafah ini adalah warisan terakhir kejayaan umat Islam. Memiliki luas wilayah yang membentang dari ujung barat sampai ujung timur dunia. Wilayahnya mencakup tiga benua besar dunia, Afrika-Eropa dan Asia. Ibukotanya adalah kota yang sejak 1400 tahun yang lalu telah dijanjikan oleh Rasulullah SAW sebagai kota yang akan jatuh ke tangan umat Islam.

Rasulullah bersabda, “Konstantinopel akan kalian bebaskan. Pasukan yang mampu membebaskannya adalah pasukan yang sangat kuat. Dan panglima yang membebaskannya adalah panglima yang sangat kuat..”

Berabad-abad lamanya umat Islam memimpikan realisasi kabar gembira Rasulullah itu. Namun sejak zaman Khilafah Rasyidah, Khilafah Bani Umayah hingga Khilafah Bani Abbasiyah, kabar gembira itu tak kunjung terwujud. Memang sebagian Eropa sudah jatuh ke tangan Islam, yaitu wilayah Spanyol dengan kota-kotanya antara lain: Cordova, Seville, Granda dan seterusnya. Namun jantung Eropa belum pernah jatuh secara serius ke tangan Islam.

Barulah ketika Sultan Muhammad II yang lebih dikenal dengan gelar Sultan Muhammad Al-Fatih menjadi panglima, jatuhlah kota yang pernah menjadi ibu kota Eropa itu. Lewat pertempuran yang sangat dahsyat dengan menggunakan senjata paling modern di kala itu, yaitu CANON atau meriam yang sangat besar dan suaranya memekakkan telinga, Muhammad Al-Fatih berhasil menjatuhkan kota konstantininopel itu dan menjadikannya sebagai ibu kota Khilafah Turki Utsmani, sekaligus menjadikannya sebagai pusat peradaban Islam.

Wilayahnya meliputi tiga benua dengan semua peradaban yang ada di dalamnya. Saat itu bulan sabit digunakan untuk melambangkan posisi tiga benua itu. Ujung yang satu menunjukkan benua Asia yang ada di Timur, ujung lainnya mewakili Afrika yang ada di bagian lain dan di tengahnya adalah Benua Eropa. Sedangkan lambang bintang menunjukkan posisi ibu kota yang kemudian diberi nama Istambul yang bermakna: Kota Islam.

Bendera bulan sabit ini adalah bendera resmi umat Islam saat itu, karena seluruh wilayah dunia Islam berada di bahwa satu naungan khilafah Islamiyah. Tidak seperti sekarang ini yang terpecah-pecah menjadi sekian ratus negara yang berdiri sendiri-sendiri hasil dari jajahan barat. Wajar kalau lambang itu begitu melekat di hati umat dari ujung barat Maroko sampai ujung Timur Marauke. Inilah lambang yang pernah dimiliki oleh umat Islam secara bersama, bulan dan bintang. Dan lambang ini kemudian seolah menjadi lambang resmi umat Islam dan selalu muncul di kubah-kubah masjid. Dan kalau kita perhatikan, nyaris hampir semua kubah masjid di berbagai belahan dunia punya lambang ini.

Nama Allah sebelum Islam
Adanya kata Allah sebelum masa Islam, seperti yang dikatakan Robert Morey bahwa Ayah Rasulullah bernama Abdullah (hamba Allah), tidak sepantasnya dijadikan alasan bahwa Allah tersebut adalah dewa bulan.

Seperti yang pernah kita bahas sebelum ini bahwa El, Eloy, Allah, Yahweh, Ya Hua, Elohem, Allahumma; adalah kata-kata yang dipakai oleh masing-masing bangsa - saat itu - untuk menyebut Tuhan. Dan kata Allah adalah kata yang dipakai oleh bangsa Arab untuk menyebut Tuhan khususnya oleh para Ahnaf (masyarakat Arab yang mengikuti tradisi Ibrahim). Dan nama itu tidak termasuk dalam jajaran nama-nama berhala dan dewa-­dewa Arab. Permasalahannnya bukan hanya pada kata-kata itu saja kemudian kita menilai paham suatu masyarakat. Tapi pada cara penyikapan kepada “Tuhan” yang disebut menurut bahasa mereka masing-masing . Bangsa Israel yang menggunakan kata Yahweh untuk merefleksikan pemahaman mereka tentang konsep “Tuhan” dibimbing oleh rasul dan nabi mereka untuk meluruskan pemahaman dan penyikapan terhadap Tuhan yang mereka sebut Yahweh. Begitu juga masyarakat Arab yang pada masa jahiliyah memakai kata Allah untuk menyebut Tuhan dibimbing oleh Rasulullah Saw untuk menyikapi dan memahami apa yang mereka sebut Allah itu. Cara penyikapan inilah yang diajarkan oleh masing-masing rasul dan nabi kepada umatnya, yaitu meng-ESA-kan. Kalau ukurannya hanya pada tataran kata saja untuk menilai paham suatu umat, maka Yahudi dan Kristen luga pagan, karena nama “EL’ yang dipakai IsraEL adalah Tuhan dari bangsa Kan’an yang menurut mereka pagan.

Qomaruddin dan Syamsuddin
Pembaca dari kalangan Muslim mungkin akan tertawa ketika dikatakan bahwa nama-nama Cak Qomar dan Cak Udin juga kang Najam dijadikan bukti adanya penyembahan terhadap dewa bulan. Menurut Dr. Robert Morey: Agama Penyembah Bulan disebut Komaruddin.

Komarun = Bulan; Dinun = Agama.2

Begitu juga dengan nama Syamsuddin dan Najmuddin, keduanya diterjemahkan dengan cara yang sama.

Komarun berarti bulan dan dinun berarti agama maka arti dari nama tersebut adalah “bulannya agama”, maksudnya seorang yang dengan agamanya berkiprah di masyarakatnya seperti bulan yang bersinar terang benderang, membawa nama baik agamanya. Begitu syamsuddin, di harapkan oleh orang tuanya agar lebih bersinar seperti matahari yang selalu memberi manfaat kepada manusia. Nama-nama muslim yang dinisbatkan kepada dien (agama) memiliki makna senada, seperti saifuddin (pedang agama), adalah harapan orang tuanya agar anaknya mampu membela agamanya ibarat sebuah pedang yang siap dipakai kapan saja. Sedang “penyembah bulan” kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Arab ‘abid al-Qomar. Begitu juga dengan dua nama lainnya.

Masyarakat Arab pada masa pra Islam seringkali menamakan budaknya dengan nama-nama yang dapat menyenangkan hati mereka seperti nama Qomar dan Syams, diharapkan agar budaknya dapat menerangi mereka seperti namanya. Sedang untuk mereka sendiri, mereka memakai nama­nama yang menyeramkan, untuk menakuti musuh-musuhnya, seperti Kilab (anjing-anjing), Asad (singa), Namir dan Fahd (harimau). Pada masa Rasulullah nama-nama jahiliyah banyak dinisbatkan langsung pada Allah, seperti Saifullah (pedang Allah), Asadullah (Singa Allah) dan lain sebagainya. Rasulullah meluruskan kebiasaan masyarakat Arab jahiliyah bahkan pada masalah nama.

Pada masa selanjutnya ketika perbudakan sudah terhapuskan, dan para mantan budak yang membentuk komunitas tersendiri, tampil dalam pemerintahan. Mereka dikenal sebagai kaum Mawali(orang-orang yang meminta perlindungan). Untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat yang sebelumnya adalah tuan-tuan mereka, maka mereka menisbatkan nama-nama, mereka kepada katadin (agama). Hal ini sejalan dengan perkembangan zaman yang tidak lagi menisbatkan nama-nama kepada tuan-tuannya, sebab zaman perbudakan sudah berakhir, dan semua mereka adalah sama dalam urusan agama. Maka kita melihat bahwa nama-nama seperti Qomaruddin dan Syamsuddin tidak pernah kita temukan pada masa jahiliyah, ataupun pada masa Rasulullah, nama-nama itu baru muncul kemudian pada saat mantan budak memegang tampuk pemerintahan.

Pada masa sekarang nama-nama di atas tidak dipakai untuk menyenangkan tuan, tidak juga untuk legalitas kekuasaan. Nama-nama itu dipakai umat muslim dengan maksud yang berbeda, karena mereka hanya melihat arti dari nama-nama itu, yang diharapkan pemiliknya dapat menjadi seperti namanya.

Kepercayaan masa Jahiliyah (Pra Islam)/Agama Astral
Menurut Dr. Morey : “Allah, dewa bulan, kawin dengan dewa matahari. Mereka berdua mempunyai tiga orang puteri yang disebut putri-putri Allah. Ketiga putri tersebut AI-Lata, AI­Uzza, dan Manat”. Untuk memperkuat anggapannya ia memanipulasi pernyataan Guilluame seperti yang kita ungkap sebelum ini.

Bahwa masyarakat Arab pra Islam memiliki kepercayaan terhadap bintang dan bulan juga matahari memang benar, hanya saja Dr. Morey berhenti sampai disini untuk menyatakan bahwa yang disembah oleh umat Muslim adalah dewa bulan, padahal kepercayaan yang semacam inilah yang diserang dengan keras oleh Rasulullah tanpa kompromi sedikitpun. Itulah sebabnya maka masa tersebut dikatakan sebagai masa Jahiliyyah (zaman kebodohan). Terjemah ayat-ayat berikut ini akan menggambarkan bagaimana Rasulullah secara radikal menyerang kepercayaan masyarakatnya:

“Maka apakah patut bagi kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al- Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah). Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan; Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama­nama yang kamu dan bapak-bapak karnu mengada­adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan rnereka. Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita­citakannya (Tidak), maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS. An-Najm 19-25).

Berhala di dalam Ka’bah
Berikut ini adalah salah satu dari pernyataan tidak berdasar yang dilontarkan oleh Robert Morey :“Ada satu berhala Allah ditempatkan di ka’bah bersama dengan semua ilah-ilah berhala lain. Penyembah-penyembah berhala sembahyang menghadap Mekah clan Kaabah karena di sanalah dewa-dewa mereka disemayamkan”. Kita tidak tahu dari mana pak Doktor mendapatkan sumbernya, tapi yang jelas tidak pernah melihat Ka’bah secara langsung apalagi masuk di dalamnya.

Pada Masa Jahiliyah -tradisi menyebut demikian untuk membedakan antara masa kebenaran dan kebodohan-, banyak berhala ditempatkan di Ka’bah tapi tidak ada satupun berhala disebut Allah. Dan berhala-hala yang amat banyak tersebut telah dihancurkan oleh Rasulullah saat memasuki Makkah, setelah sebelumnya umat Islam diusir dari Makkah. Rasulullah sendiri pada saat sebelum menjadi nabi, pernah bersumpah dihadapan Khadijah istrinya bahwa beliau “tidak akan menyembah uzza selamanya”, hal ini jelas membedakan antara Allah dan ilah­ilah lainnya, sebab saat itu agama Hanifah(jalan lurus) ajaran Ibrahim As. masih bertahan di Makkah, walaupun pengikutnya tidak sebanyak para pagan. Kini jangankan di Ka’bah di rumah seorang muslim saja tidak akan ada berhala. Sangat berbeda dengan Rumah dan Kantor Robert Morey yang mungkin memasang patung salib di sudut ruang atau kamarnya.

Dewa bulan dan Simbol Bulan Sabit
Simbol bulan sabit yang sering dipakai umat muslim dianggap sebagai simbol penyembahan dewa bulan oleh Dr. Robert Morey. la menyatakan : “Simbol penyembahan dewa bulan dalam budaya Arab dan di tempat-tempat lain di seluruh timur tengah adalah bulan sabit”. Gambar bintang yang biasa berada ditengah bulan sabit tidak disebut, karena Amerika memakai simbol bintang.

Dr. Robert Morey dan para orientalis Barat menuduh dengan bertanya kenapa umat Islam memakai simbol bulan sabit untuk agama mereka? Atau kenapa bulan dipakai untuk menandai bulan baru?. Mereka sengaja bertanya dengan logika yang salah dari sesuatu yang tersembunyi, sejak saat umat Islam memakai bulan sabit sebagai simbol, maka dikatakan bahwa umat Islam menyembah “dewa bulan”. Ini tidak benar sebagaimana anggapan bahwa sejak umat Yahudi mengambil bintang David sebagai simbol, maka umat Yahudi menyembah bintang, berarti umat Kristen juga menyembah patung salib saat mereka memakai simbol tersebut, atau menyembah matahari saat menggunakan tanda silang dari sinar matahari.

Islam tidak pernah mengajarkan untuk menyembah bulan. Dalam firman Allah disebutkan:
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. Fushshilat 37)

Ayat ini diperkuat dengan ayat lain, bahwa bulan bukanlah object penyembahan.
“Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalarn siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan “. (QS. Luqman 29).

Jika Allah adalah “dewa bulan” seperti yang dituduhkan oleh Dr. Morey, apa mungkin “dewa bulan” menciptakan bulan untuk dipakai oleh manusia?. Dengan bukti di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa umat Islam hanya menyembah `Allah” saja, dan bukan menyembah dewa bulan. Kepercayaan terhadap kekuatan benda-benda angkasa yang pernah berkembangan di Mesir, Babilonia, serta Asiria, mungkin saja mempengaruhi Jazirah Arab, sebab secara geografis letaknya tidaklah berjauhan; Hanya saja pada masa Rasulullah kepercayaan tersebut diluruskan dengan menempatkan benda-benda tersebut pada tempat dan fungsinya. Seperti bulan -misalnya-, seperti yang pernah ditanyakan oleh masyarakatArab kepada Rasulullah, ditempatkan sebatas untuk menandakan pergantian waktu. Sebagaimana Firman Allah di Surat Al Baqarah 189:

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”.

Dari riwayat Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa sahabat bertanya kepada Rasulullah saw.: Untuk apa diciptakan bulan sabit?” maka turun ayat tersebut yang memerintahkan Rasulullah untuk menjawab bahwa bulan adalah untuk menunjukkan waktu kepada manusia kapan mereka harus memakai pakaian ihram pada waktu haji dan kapan harus menanggalkannya, atau kapan mereka harus memulai puasa dan kapan harus mengakhirinya. Dari sini, dapat kita ketahui bahwa tidak ada kepentingan penyembahan kepada bulan, tetapi hanya sebagai Penunjuk pergantian waktu, seperti Haji clan Puasa. Pada masa Khalifah Umar umat Muslim membuat penanggalan berdasarkan hitungan bulan, yang dimulai sejak masa Hijrah.

Yang menarik untuk dicatat bahwa umat Yahudi juga memakai Penanggalan Hijriah untuk menandai perayaan suci mereka. Penanggalan keagamaan Umat Yahudi, yang aslinya dari Babilonia, terdiri dari 12 bulan Qomariah/Hijriah, terhitung 354 hari. Dan penghitungan hari dimulai dari tenggelamnya matahari sampai tenggelam lagi.3

Maka bila dikatakan bahwa Islam menyembah “dewa bulan” dikarenakan memakai penanggalan yang berdasarkan bulan, maka apakah agama orang Yahudi, yang juga memakai penanggalan yang berdasarkan bulan ? berdasarkan “logika” Dr. Robert Morey maka umat Yahudi ” juga “penyembah bulan”. Demikian juga bila umat Kristen memakai penanggalan yang berdasarkan perputaran matahari, apakah mereka juga menyembah matahari ? Mari kita simak keterangan berikut ini. Penanggalan yang pertama adalah penanggalan yang berdasarkan bulan. Kebudayaan kuno, seperti Siria, Babilonia, Egypt, dan Cina telah memakai penanggalan bulan, sebagaimana budaya Semit juga mengambil penanggalan bulan untuk menandai waktu mereka. Setelah kita ketahui kenyataan bahwa umat Yahudi dan Islam, dalam tradisi budaya Semit, sama-sama memakai penanggalan Qomariah untuk menandai bulan mereka. Maka kenapa umat Kristen memakai penanggalan yang berdasarkan matahari menggantikan penanggalan bulan. Hal ini berkaitan erat dengan rekayasa perayaan natal tanggal 25 Desember clan pengaruh pemikiran-pemikiran pagan yang berporos pada penyembahan dewa Re (dewa matahari) dalam Kristen. Untuk melengkapi bahasan ini, maka akan kami sertakan secara ringkas kajian tentang perayaan natal 25 Desember oleh umat Kristen.

Asal Usul Perayaan Natal 25 Desember
Perintah untuk menyelenggarakan peringatan Natal tidak ada dalam Bibel dan Yesus tidak pernah memberikan contoh ataupun memerintahkan pada muridnya untuk menyelenggarakan peringatan kelahirannya.

Perayaan Natal baru masuk dalam ajaran Kristen Katolik pada abad ke-4 M. Dan peringatan inipun berasal dari upacara adat masyarakat penyembah berhala. Dimana kita ketahui bahwa abad ke-1 sampai abad ke-4 M dunia masih dikuasai oleh imperium Romawi yang paganis politheisme.

Ketika Konstantin dan rakyat Romawi menjadi penganut agama Katholik, mereka tidak mampu meninggalkan adat/ budaya pagannya, apalagi terhadap pesta rakyat untuk memperingati hari Sunday (sun = matahari; day = hari) yaitu kelahiran Dewa Matahari tanggal 25 Desember.

Maka supaya agama Katholik bisa diterima dalam kehidupan masyarakat Romawi diadakanlah sinkretisme (perpaduan agama-budaya/ penyem-bahan berhala), dengan cara menyatukan perayaan kelahiran Sun of God (Dewa Matahari) dengan kelahiran Son of God (Anak Tuhan = Yesus). Maka pada konsili tahun 325, Konstantin memutuskan dan menetapkan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus, Juga diputuskan: Pertama , hari Minggu (Sunday = hari matahari) dijadikan pengganti hari Sabat yang menurut hitungan jatuh pada Sabtu. Kedua, lambang dewa matahari yaitu sinar yang bersilang dijadikan lambang Kristen. Ketiga, membuat patung-patung Yesus untuk menggantikan patung Dewa Matahari.

Sesudah Kaisar Konstantin memeluk agama Katolik pada abad ke- 4 Masehi, maka rakyat pun beramai-ramai ikut memeluk agama Katholik. Inilah prestasi gemilang hasil proses sinkretisme Kristen oleh Kaisar Konstantin dengan agama paganisme politheisme nenek moyang.

Demikian asal-usul Christmas atau Natal yang dilestarikan oleh orang-orang Kristen di seluruh dunia sampai sekarang. Darimana kepercayaan paganis politheisme mendapat ajaran tentang dewa matahari yang diperingati tanggal 25 Desember?

Mari kita telusuri melalui Bibel maupun sejarah kepercayaan paganis yang dianut oleh bangsa Babilonia kuno didalam kekuasaan raja Nimrod (Namrud).

Putaran jaman menyatakan bahwa penyembah berhala versi Babilonia ini berubah menjadi “Mesiah palsu”, berupa dewa “13a-al” anak dewa matahari dengan obyek penyembahan “Ibu dan Anak” (Semiramis dan Namrud) yang lahir kembali. Ajaran tersebut menjalar ke negara lain: Di Mesir berupa “Isis dan Osiris”, di Asia bernama “Cybele dan Deoius”, di Roma disebut Fortuna dan Yupiter”, bahkan di Yunani. “Kwan Im” di Cina, Jepang, dan Tibet. Di India, Persia, Afrika, Eropa, dan Meksiko juga ditemukan adat pemujaan terhadap dewa “Madonna” dan lain-lain.

Dewa-dewa berikut dimitoskan lahir pada tanggal 25 Desember, dilahirkan oleh gadis perawan (tanpa bapak), mengalami kematian (salib) dan dipercaya sebagai Juru Selamat (Penebus Dosa):
  1. Dewa Mithras (Mitra) di Iran, yang juga diyakini dilahirkan dalam sebuah gua dan mempunyai 12 orang murid. Dia juga disebut sebagai Sang Penyelamat, karena ia pun mengalami kematian, dan dikuburkan, tapi bangkit kembali. Kepercayaan ini menjalar hingga Eropa. Konstantin termasuk salah seorang pengagum sekaligus penganut kepercayaan ini.
  2. Apollo, yang terkenal memiliki 12 jasa dan menguasai 12 bintang/planet.
  3. Hercules yang terkenal sebagai pahlawan perang tak tertandingi.
  4. Ba-al yang disembah orang-orang Israel adalah dewa penduduk asli tanah Kana’an yang terkenal juga sebagai dewa kesuburan.
  5. Dewa Ra, sembahan orang-orang Mesir kuno; kepercayaan ini menyebar hingga ke Romawi dan diperingati secara besar-besaran dan dijadikan sebagai pesta rakyat.
Demikian juga Serapsis, Attis, Isis, Horus, Adonis, Bacchus, Krisna, Osiris, Syamas, Kybele dan lain-lain. Selain itu ada lagi tokoh/pahlawan pada suatu bangsa yang oleh mereka diyakini dilahirkan oleh perawan, antara lain Zorates (bangsa Persia) dan Fo Hi (bangsa Cina). Demikian pula pahlawan-pahlawan Helenisme: Agis, Celomenes, Eunus, Soluius, Aristonicus, Tibarius, Grocecus, Yupiter, Minersa, Easter.

Jadi, konsep bahwa Tuhan itu dilahirkan seorang perawan pada tanggal 25 Desember, disalib/dibunuh kemudian dibangkitkan, sudah ada sejak zaman purba4.

Konsep/dogma agama bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan bahwa Tuhan mempunyai tiga pribadi, dengan sangat mudahnya diterima oleh kalangan masyarakat Romawi karena mereka telah memiliki konsep itu sebelumnya. Mereka tinggal mengubah nama-nama dewa menjadi Yesus. Maka dengan jujur Paulus mengakui bahwa dogma-dogma tersebut hanyalah kebohongan yang sengaja dibuatnya. Kata Paulus kepada Jemaat di Roma:

“Tetapi jika kebenaran Allah oleh dustaku semakin melimpah bagi kemuliannya; mengapa aku masih dihakimi lagi sebagai orang berdosa? (Roma 3:7) “.

Mengenai kemungkinan terjadinya pendustaan itu, Yesus telah mensinyalir lewat pesannya:
Jawab Yesus kepada mereka : “Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu! Sebab banyak orang akan datang dengan memakai namaku dan berkata Akulah Mesias, dan mereka akan menyesatkan banyak orang”. (Matius 24:4-5)”.

Wallahu A’lam Bisyawwab.