Kita berangkat dari cara berpikir umat Kristen apabila ditanya tentang eksistensi Tuhan yang dapat menjelma menjadi manusia dengan jawaban: ”Terserah Tuhan dong, Dia kan Maha Kuasa, mau menjelma jadi manusia, kek, mau jadi trinitas, kek, atau jadi apa pun, tentu saja Dia dapat melakukannya!”

Maka jawaban tersebut dapat dipakai juga untuk menjelaskan eksistensi Tuhan menurut Al-Qur’an, yakni bahwa dengan demikian Tuhan juga punya kuasa untuk menjadikan diri-Nya seperti disebutkan berikut ini:

"(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat." (QS. As-Syuura[42]:11)

"Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. Al-Ikhlas[112]:4)

Jadi, jika berdasarkan informasi dari sumber di luar Al-Qur'an yang menyatakan bahwa Tuhan dapat menjelma menjadi apa saja yang Dia mau, maka sumber tersebut juga harus dapat menerima bahwa Tuhan juga dapat menjadikan diri-Nya tidak setara dengan apapun atau tidak menyerupai sesuatupun, karena memang begitulah sesungguhnya Dia sebagaimana yang diajarkan-Nya melalui Al-Qur'an. [1] Penjelasan kedua ayat ini memastikan bahwa eksistensi atau wujud Tuhan tidak dapat dijangkau oleh panca-indera kita, karena kalau dapat, maka hal itu tidak sesuai dengan pernyataan di atas.

Dalam ayat lain, Allah SWT menegaskan:

"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-An'Aam[6]:103)

Logika yang kita gunakan untuk menerima Tuhan yang menjelma menjadi manusia karena 'Tuhan punya kuasa untuk menjadi apapun yang Dia inginkan', dapat juga kita gunakan untuk menerima pernyataan Al-Qur'an di atas.

Lalu, menjawab pertanyaan: “Mengapa melalui panca-inderanya manusia tidak dapat mendeteksi keberadaan Tuhan? Coba kita robah menjadi begini: ”Mengapa Tuhan tidak memberikan kemampuan kepada manusia untuk dapat melihat-Nya dengan panca indera?"

Karena konsisten dengan alasan Kristen soal kekuasaan Tuhan tadi, maka berdasarkan kuasa-Nya - dan jika Dia kehendaki, tentu saja manusia akan dapat melihat wujud Tuhan. Tetapi dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa Tuhan tidak memberikan kemampuan kepada panca-indera manusia untuk menjangkau eksistensi-Nya.

Apa sih alasannya? Tentu saja Tuhan tidak perlu menjelaskan apa-apa untuk kita. Sebab berdasarkan kuasa yang Dia miliki, Tuhan dapat berbuat apapun yang Dia kehendaki tanpa perlu harus repot-repot memberikan alasan-Nya kepada manusia.

Coba perhatikan ayat ini:

"Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diriMu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau." Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman." (QS. Al-A'raaf [7]:143)

Keinginan Nabi Musa AS untuk melihat wujud Tuhan adalah semata-mata karena beliau ingin memperkuat keimanannya, namun akhirnya Nabi Musa AS malah bertaubat karena telah meminta hal tersebut. Di sini digambarkan bahwa keinginan untuk dapat melihat Tuhan dengan panca indera merupakan hal yang tidak baik.

Selanjutnya Al-Qur’an menggambarkan keinginan manusia untuk melihat Tuhan - yakni oleh Fir’aun - namun dengan cara yang agak ‘lucu’:

"Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta". Demikianlah dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian." (QS. Al-Mu'min[40]:36-37)

Dasar dari keinginan Fir’aun ini adalah dalam konteks ‘menantang’ Musa. Al-Qur’an menjelaskan bahwa perbuatan ini adalah perbuatan buruk, sekalipun Fir’aun menganggapnya baik.

Selanjutnya Al-Qur’an menjelaskan keinginan manusia lainnya, yaitu kaum Yahudi, umat Nabi Musa yang ingin melihat Allah dengan panca indera. Dasar dari keinginan ini adalah keingkaran, yaitu setelah Allah memberikan bukti keberadaan-Nya melalui ‘tanda-tanda’ yang disampaikan melalui Nabi Musa, namun mereka meminta lebih, yaitu ingin melihat Tuhan. Allah SWT menggolongkan tindakan ini sebagai suatu kezaliman dan karenanya mendapat hukuman dari Allah seperti diceritakan dalam Al-Qur'an berikut ini:

"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya." (QS. Al-Baqarah[2]:55)

"Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata: "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata". Maka mereka disambar petir karena kezalimannya, dan mereka menyembah anak sapi, sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu Kami ma'afkan (mereka) dari yang demikian. Dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang nyata." (QS. An-Nisaa[4]:153)

Kemudian ada satu ayat yang menggambarkan kondisi di akhirat, yaitu penyesalan dari orang-orang yang tersesat di dunia:

"Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami: "Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?" Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman." (QS. Al-Furqaan[25]:21)

Itupun disebut Alllah SWT sebagai suatu kezaliman dan tindakan yang ‘memandang besar diri sendiri’.

Jadi, kesimpulannya, Al-Qur’an menyampaikan kepada kita bahwa Tuhan tidak memilih berdasarkan kuasa-Nya agar manusia dapat menjangkau eksistensi-Nya dengan panca indera. Dan Tuhan juga telah menetapkan bahwa keinginan ataupun permintaan untuk itu merupakan suatu kezaliman.

Dari sisi manusianya sendiri, kita tentu boleh-boleh saja memikirkan kira-kira apa alasannya. Seperti misalnya: ”Melihat matahari saja mata kita tidak sanggup, bagaimana pula jadinya jika kita melihat Tuhan yang menciptakan matahari?” Tapi itu hanya berdasarkan akal pikiran kita saja, sekalipun alasan tersebut rasanya cukup masuk akal.

Lalu ada pertanyaan begini: “Bagaimana Al-Qur’an mengajarkan kepada manusia sehingga dapat mengenal Tuhan yang tidak dapat terdeteksi melalui panca indera?”

Jawabnya adalah; Al-Qur'an mengajarkan bahwa yang dapat dideteksi oleh panca-indera manusia adalah ‘tanda-tanda’ keberadaan-Nya. Bukan eksistensi (wujud) Tuhan itu sendiri. Tanda-tanda tersebut dapat dijangkau oleh panca indera dan juga akal pikiran kita. Malah melalui Al-Qur’an Allah justru mewajibkan setiap manusia untuk mengamati dengan panca inderanya dan memikirkan dengan akal pikirannya semua ‘tanda-tanda’ keberadaan Tuhan ini agar kita dapat meyakini bahwa Tuhan memang ada, eksis, wujud.

Perhatikanlah firman Allah SWT berikut ini:

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?" (QS. Al-Fushshilat[41]:53)

"Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Fushshilat[41]:39)

"Dan Dia memperlihatkan kepada kamu tanda-tanda (kekuasaan-Nya); maka tanda-tanda (kekuasaan) Allah yang manakah yang kamu ingkari?" (QS. Al-Mu'min[40]:81)

"Dia-lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu rezki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah)." (QS. Al-Mu'min[40]:13)

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (QS. Al-Baqarah[2]:164)
"Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir." (QS. Yunus[10]:24)

"Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya." (QS. Al-Hadid[57]:17)

Intinya adalah, segala yang ada di alam semesta ini merupakan bukti tentang eksistensi Allah, tapi ini tentu hanya berlaku bagi orang yang melihat dengan ‘hati’ dan mampu berpikir seperti yang digambarkan oleh Tuhan melalui firman-Nya berikut ini:

"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada." (QS. Al-Hajj[22]:46)

"Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan (bacaan)mu, padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya. Dan jikapun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata: "Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu." (QS. Al-An'aam[6]:25)

"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (QS. Al-Jaatsiyah[45]:23)

Ternyata yang dikatakan ‘mampu’ melihat tanda-tanda eksistensi Allah itu bukan hanya terbatas pada pandangan mata atau mendengar dengan telinga saja, tapi mata dan telinga yang dibimbing oleh hati yang tunduk dan tulus ingin mengetahui eksistensi Tuhan. Jadi tidak aneh kalau banyak mahasiswa sekolah seminari yang khusus mempelajari Al-Qur’an, sekalipun sudah membaca Al-Qur’an seluruhnya dan berkali-kali, namun karena dasarnya punya niat yang tidak baik, maka Al-Qur’an tidak akan dapat menjadi petunjuk agar mereka kembali ke jalan yang benar, malah semakin dibaca semakin tersesat, dan yang rugi tentu saja diri mereka sendiri.

Sebaliknya bagi orang yang punya niat baik dan tulus, benar-benar ingin mengenal Allah dan ingin mendapat bimbingan-Nya, maka tidak perlu harus melihat Tuhan dengan panca indera, Allah akan memberikan bimbingan ke arah pengenalan kepada-Nya melalui tanda-tanda keberadaan Tuhan, dan orang tersebut makin mengenal Allah tanpa harus melihat wujud-Nya.

"(Yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat." (QS. Al-Anbiyaa [21]:49)

"Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allahlah kembali(mu)." (QS. Al-Faathir[35]:18)

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Barang siapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang pedih." (QS. Al-Maa'idah [5]:94)

Dengan konsep ketuhanan ini, lalu kitapun boleh bertanya: ”Bagaimana persepsi dan gambaran yang ada dalam diri seorang Muslim tentang Tuhannya?” Katakanlah, ketika seorang Muslim bersujud di tengan malam, sendirian, mengadu kepada Tuhannya tentang masalah yang tengah dihadapi, atau ketika seorang Muslim terjebak dalam situasi hidup dan mati di mana tidak ada tempat atau sesuatu pun untuk dimintai pertolongannya kecuali Allah, lalu Muslim tersebut berteriak: ”Ya, Allah. Tolonglah hamba-Mu ini!”

Kira-kira bagaimana wujud Tuhan yang tergambar di benaknya?
Hampir dapat dipastikan TIDAK ADA!

Tidak satu pun wujud atau bentuk yang dapat dibayangkan oleh manusia akan muncul sebagai sosok Tuhan dalam benaknya kecuali keyakinan bahwa Allah itu ADA! Kekuasaan-Nya sangat dekat, Dia pasti mendengar jeritan minta tolong si Muslim. Dia berkuasa untuk menolong, dan jika Dia menolong, maka TIDAK ADA SESUATUPUN YANG DAPAT MENGHALANGI! Demikian pula sebaliknya.

Begitulah eksistensi Tuhan yang selalu ada dalam hati setiap Muslim.

Lukisan mural berjudul Penciptaan Adam karya Michelangelo di atap Kapel Sistine di Vatikan yang menggambarkan peristiwa penciptaan Adam dan Hawa.

Sekarang mari kita berandai-andai jika kita menjadi seorang penganut Kristen misalnya. Ketika kita menyeru: ”Ooo, Yesus! Tolonglah saya!” apa yang tergambar dalam hati dan pikiran kita? Tentu saja akan muncul sesosok laki-laki, berambut panjang, hidung mancung model Eropah, ganteng, berjanggut, mungkin telanjang atau hanya mengenakan sepotong kain penutup aurat saja.

Lantas jika kita berdo’a: ”Bapa yang ada di surga,...”, apa yang tergambar di benak kita? Tentu saja gambaran sesosok manusia yang pasti lebih tua dari Yesus, bertubuh gempal, berjanggut putih, berkulit putih pula, wajahnya teduh dan penuh senyum seperti wajah pak Harto.

Lalu, di manakah Bapa? Bapa tidak berada di depan atau di samping kita, tapi nun jauh di surga, di atas awan, Bapa melihat dari kejauhan.

Jika kemudian kita menjerit: ”Ya, Ruh Kudus, ...”, gambaran yang kemudian muncul di benak kita pun tidak lain dari seekor burung merpati yang mengepakkan sayapnya di antara awan di langit.

Lebih hebat lagi, bagaimana pula jika kita menyebut sekaligus ketiganya: ”Wahai Bapa, Yesus, dan Ruh Kudus, tolonglah saya…!”, gambaran yang muncul dalam hati dan pikiran kita tentu saja ketiganya datang dengan wujudnya masing-masing.

Sebagai penganut Kristen, pastilah kita akan mengalami kesulitan luar biasa karena harus bersusah-payah menipu diri sendiri coba ‘memblender’ ketiga wujud tersebut menjadi satu yang disebut sebagai Tuhan!

Padahal sejak awal penciptaan manusia sendiri, Tuhan sudah mengajarkan kepada manusia bahwa Dia sama sekali tidak sama dengan dzat apa pun yang dapat dibayangkan oleh akal dan dicapai oleh panca indera manusia. Tuhan kita MAHA GHAIB!

Jadi, seperti sudah disebutkan di atas, memiliki keinginan untuk melihat wujud-Nya saja sudah merupakan sesuatu yang menyelisihi ajaran Tuhan, apalagi meyakini bahwa bentuk-bentuk yang menyerupai makhluk ciptaan-Nya sebagai wujud Tuhan sendiri, tentu saja merupakan suatu perbuatan yang sangat melawan kehendak-Nya.

Perhatikanlah peringatan Tuhan di dalam Al-Quran berikut ini:

"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara." (QS. An-Nisaa[4]"171)


[Sumber: Arda Chandra | Kajian Lintas Agama]


[1] Lihat Surah Al-Ikhlas