Ad Code

Ticker

10/recent/ticker-posts

Imam Al-Gazali


(450-505 H/1058-19 Desember 1111 M). 
Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Mu hammad bin Muhammad at-Tusi al-Gazali, seorang pemikir Islam sepanjang sejarah Islam, teolog, filsuf, dan sufi termasyhur. la lahir di kota Gazalah, sebuah kota kecil dekat Tus di Khurasan, yang ketika itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam, meninggal di kota Tus setelah mengadakan perjalanan untuk mencari ilmu dan ketenangan batin. Nama al-Gazali dan at-Tusi dinisbahkan kepada tempat kelahirannya.

la lahir dari keluarga yang taat beragama dan hidup sederhana. Ayahnya seorang pemintal wol di kota Tus. Latar belakang pendidikannya dimulai dengan belajar Al-Qur'an pada ayahnya sendiri. Sepeninggal ayahnya, ia dan saudaranya dititipkan pada teman ayahnya, Ahmad bin Muhammad ar-Razikani, seorang sufi besar. Padanya al-Gazali mempelajari ilmu fikih, riwayat hidup para wali, dan kehidupan spiritual mereka. Selain itu, ia bela jar juga menghafal syair-syair tentang mahabbah (cinta) kepada Tuhan, Al-Qur'an dan sunah.

la kemudian dimasukkan ke sebuah sekolah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di sini gurunya adalah Yusuf an-Nassj, juga se orang sufi. Setelah tamat, ia melanjutkan pelajarannya ke kota Jurjan yang ketika itu juga menjadi pusat kegiatan ilmiah. Di sini ia mendalami penge tahuan bahasa Arab dan Persia, di samping belajar pengetahuan agama. Gurunya di antaranya Imam Abu Nasr al-Isma'ili. Karena kurang puas, ia kem bali ke Tus. Beberapa tahun kemudian, ia pergi ke Nisabur dan di sana memasuki Madrasah Nizamiyah yang dipimpin oleh ulama besar, Imam al-Haramain al-Juwaini, salah seorang tokoh aliran Asy'ariah. Melalui al-Juwaini, al-Gazali memperoleh ilmu usul fikih, ilmu mantik, dan ilmu kalam. Karena dinilai berbakat dan berpotensi, ia diangkat menjadi asistennya. la kemudian dipercaya untuk menggantikan al-Juwaini mengajar setiap kali gu runya berhalangan datang atau dipercaya mewakilinya sebagai pimpinan Nizamiyah. Di Nisabur inilah bakatnya dalam menulis berkembang.

Al-Gazali menulis hampir 100 buah buku. Buku-bukunya itu meliputi berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam (teologi Islam), fikih (hukum Islam), tasawuf, filsafat, akhlak, dan autobiografi. Karangannya itu ditulis dalam bahasa Arab atau Persia. Di antara kitab-kitabnya yang terkenal ialah Maqasid al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf) dan kitab Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf), yang keduanya mengenai filsafat. Bukunya dalam bidang keagamaan ialah Ihya' 'Ulum ad-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), dan al-Munqiz min ad-Dalai (Penyelamat dari Kesesatan). Buku-buku karangannya ini pada umumnya berisi kritikan-kritikan dan komentar terhadap pemikiran fil suf terdahulu. Tulisan-tulisannya itu diberikan kepada gurunya untuk dibaca dan mendapat tanggapan positif, bahkan pujian, dari gurunya. Buku nya kemudian berhasil menarik perhatian kaum intelektual dan para ulama sezamannya sementara usianya masih relatif muda, yaitu 28 tahun. Buku nya mendapat perhatian para orientalis dan diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Setelah al-Juwaini wafat (1085), al-Gazali meninggalkan Nisabur menuju Muaskar untuk memenuhi undangan Perdana Menteri Nizam al-Mulk, pendiri Madrasah Nizamiyah. Muaskar pada waktu itu adalah tempat pemukiman Perdana Menteri, pembesar-pembasar kerajaan, dan para ulama/intelektual terkemuka. Di sini ia menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang rutin diadakan di istana Nizam al-Mulk. Melalui forum inilah kemasyhurannya semakin meluas. Kepandaian al-Ga zali menyebabkan Perdana Menteri Nizam al-Mulk mengangkatnya menjadi guru besar pada Madra sah Nizamiyah di Baghdad tahun 1090 M. Ini merupakan kedudukan sangat terhormat dan merupakan prestasi puncak, dan inilah yang menjadikannya semakin populer. Akan tetapi, setelah lima tahun (1090-1095) memangku jabatan itu, ia mengundurkan diri.

Ketika itu, kehidupannya goncang karena keraguan yang meliputi dirinya, "Apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau tidak?" Perasaan syak ini timbul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) yang diperolehnya dari al-Juwaini. Teologi membahas berbagai aliran yang antara satu sama lain terdapat kontradiksi. Al-Ga zali ragu, mana di antara aliran-aliran itu yang betul-betul benar. Bukunya yang berjudul al-Munqiz min ad-Dalai menjelaskan tentang keadaan ini. Dalam bukunya itu tergambar keinginannya untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Al-Gazali mulai tidak percaya kepada pengetahuan yang di perolehnya melalui pancaindera sebab pancaindera sering kali salah atau berdusta. Ia kemudian meletakkan kepercayaan kepada pengetahuan akal, tetapi ternyata juga tidak memuaskan. Tasawuflah yang kemudian menghilangkan rasa syak dalam di rinya. Pengetahuan tasawuf yang diperolehnya me lalui kalbu membuat al-Gazali merasa yakin mendapatkan pengetahuan yang benar.

Dalam mempelajari filsafat, al-Gazali menemukan argumen-argumen filosofis yang dipandangnya menyalahi ajaran Islam. Karena itu, ia menyerang kaum filsuf yang diungkapkannya dalam bukunyaMaqasid al-Falasifah. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Dominicus Gundissalimus dengan judul Logica et Philosophia al-Gazelis Arabis (Logika menurut Filsuf Arab al-Gazali; 1145 M). Lalu untuk memperjelas kritiknya terhadap filsuf itu, ia menulis buku Tahafut al-Falasifah. Da lam buku itu al-Gazali mengritik 10 pendapat filsuf yang mengatakan bahwa: 1) Tuhan tidak mempunyai sifat, 2) Tuhan mempunyai substansi sederhana (basit) dan tidak mempunyai hakikat (mahiyah), 3) Tuhan tidak mengetahui perincian (juz'iyyah), 4) Tuhan tidak dapat diberi sifat jenis (al-jins/genus) dan al-fasl (spesies), 5) planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan, 6) jiwa planet-planet mengetahui semua juz'iyyah (rincian), 7) hukum alam tidak berubah, 8) pembangkitan jasmani tidak ada, 9) alam ini tidak bermula, dan 10) alam ini kekal. Bahkan al-Gazali berpendapat bahwa tiga di antara 10 pendapat fil suf di atas, yaitu alam kekal (tidak bermula), Tuhan tidak mengetahui rincian-rincian, dan pembangkitan jasmani tidak ada, dapat membawa kepada kekufuran.

Isi pokok mengenai kecaman al-Gazali terhadap tiga persoalan itu adalah sebagai berikut. Pertama, tentang kadimnya alam (alam tidak bermula). Fil suf berpendapat bahwa alam ini qadim. Menurut al-Gazali, pendapat ini membawa kepada keyakinan akan adanya yang qadim selain Tuhan atau berarti banyak yang qadim, sedang dalam keyakinan Islam yang qadim itu hanya satu, yaitu Tuhan. Paham bahwa ada yang qadim selain Tuhan adalah syirik. Menurutnya, yang qadim itu adalah sesuatu yang sudah ada sejak azali, yang berwujud tanpa sebab. Mengakui alam ini qadim berarti mengingkari Tuhan sebagai Pencipta, dan ini sama dengan kufur. Kedua, tentang pendapat bahwa Tuhan ti dak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Me nurut al-Gazali pendapat ini akan menyesatkan umat Islam karena paham ini membawa kepada pengingkaran sifat kemahatahuan Tuhan. Tuhan Maha Kuasa dan Maha Tahu. Tuhan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam sampai kepada perincian yang sekecil-kecilnya, tak satu pun yang luput dari pengetahuan Tuhan. Ketiga, tentang tidak adanya pembangkitan jasmani. Para filsuf berpendapat bahwa yang abadi hanya roh (jiwa), sedangkan jasmani akan hancur dan tidak kekal. Karena itu, pembangkitan nanti pada prinsipnya yang esensi dalam diri manusia adalah jiwanya, bukan jasmaninya, tetapi pembalasan ukhrawi menuntut pembangkitan jasmani. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menyebut soal pembangkitan jas mani dengan gambaran yang bersifat materiel, sehingga meyakini tidak adanya pembangkitan jas mani berarti menolak ayat-ayat yang menyatakan adanya. Ketiga pendapat di atas menurut al-Gazali menyimpang dari ajaran yang dianut umat Islam pada umumnya dan bertentangan dengan dalil-dalil Al-Qur'an, dan ia mencap para filsuf itu kafir.

Pendapat dan kritikan al-Gazali terhadap tiga persoalan falsafi yang dikemukakan oleh para filsuf di atas dikecam keras dan dikritik lagi oleh Ibnu Rusyd (1126-1198) dalam bukunya Tahafut at-Tahafut(Kekacauan dari Kekacauan). Buku itu pada intinya berisi pembelaannya terhadap filsafat dan filsuf.

Pada tahun 1095 al-Gazali meninggalkan profesinya sebagai guru, pergi mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya pun ditinggalkannya setelah diberi bekal secukupnya. Selama sepuluh tahun ia menjalani kehidupan sebagai seorang sufi. Banyak orang yang tidak mengenalnya lagi. Kemudian ia mengurung diri dalam Masjid Damascus. Di sinilah ia menulis kitabnya Ihya' 'Ulum ad-Din, sebuah kitab yang merupakan paduan antara fikih dan tasawuf. Pengaruh buku ini menyelimuti seluruh dunia Islam dan masih terasa kuat sampai sekarang.

Pada tahun 1105, al-Gazali kembali kepada tugasnya semula, mengajar di Madrasah Nizamiyah, memenuhi panggilan Fakhr al-Mulk, putra Nizam al-Mulk. Akan tetapi, tugas mengajar ini tidak lama dijalankannya. la kembali ke Tus, kota kelahirannya. Di sana ia mendirikan sebuah halaqah (sekolah khusus untuk calon sufi) yang diasuhnya sampai ia wafat(1111).

Kehidupan al-Gazali pada masa tuanya telah mantap coraknya menjadi seorang sufi. Sebagai su fi, ia berkeyakinan bahwa tasawuf adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran hakiki. Melalui tasawuf, seseorang dapat berada dekat dengan Tuhan, bahkan dengan kalbunya dapat melihat Tuhan. Akan tetapi, jalan untuk menjadi sufi tidaklah mudah, penuh dengan ujian dan godaan. Al-Gazali sendiri menceritakan pengalamannya, bertahun-tahun ia melatih diri, meninggalkan segala kesenangan jasmani dan semata-mata mengabdi ke pada Tuhan.

Menurut al-Gazali, ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus dilalui oleh seorang calon sufi. 1) Tobat. Hal ini mencakup tiga hal: ilmu, sikap, dan tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang tentang bahaya yang diakibatkan dosa besar. Pe ngetahuan itu melahirkan sikap sedih dan menyesal yang melahirkan tindakan untuk bertobat. Tobat harus dilakukan dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan dosa. 2) Sabar. Al-Gazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu daya nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan daya yang melahirkan dorongan berbuat jahat. Jika daya jiwa yang melahirkan do rongan berbuat baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan jahat, maka seseorang sudah dapat dikategorikan sabar. Untuk mempermudah jalan menuju kesabaran, al-Gazali memberikan nasihat sebagai berikut. (a) Seseorang ha rus membatasi jumlah dan nilai makanan yang dimakannya karena dorongan syahwat kebanyakan timbul dari perut yang kenyang. (b) Seseorang ha rus memelihara pandangan matanya dari hal-hal yang mudah merangsang syahwat. Untuk itu se orang calon sufi sebaiknya menyendiri di tempat yang jauh dari keramaian. (c) Seseorang harus membiasakan diri melepaskan nafsunya pada jalan yang diridai Allah. 3) Kefakiran, yaitu berusaha untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang diperlukan. Maksudnya, meskipun calon sufi itu sedang memerlukan sesuatu, seperti makanan, namun ma kanan yang diberikan kepadanya harus diteliti de ngan seksama apakah halal, haram, atau syubhat (diragukan halal atau haramnya). Jika haram atau syubhat, makanan itu harus ditolaknya, kendatipun makanan itu sangat diperlukannya. Untuk itu, juga harus dilihat motivasi orang yang memberinya. 4) Zuhud. Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi. Menurut al-Gazali, zuhud itu bertingkat-tingkat. Tingkat tertinggi adalah zuhud yang dilakukan semata-mata karena cinta kepada Allah. Untuk sampai ke tingkat ini, hati seharusnya hanya diisi dengan mengingat Allah. Ini hanya dapat diperoleh dengan me­ninggalkan semua kesenangan duniawi. 5) Tawakal. Menurut al-Gazali, sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh akan kemahakuasaan Allah. Sebagai pencipta, Dia berkuasa melakukan apa saja terhadap manusia. Walaupun demikian, harus pula diyakini bahwa Dia juga Maha Rahman, Maha Pengasih, tak pilih kasih kepada makhluknya. Karena itu, manusia seharusnya berserah diri kepada Tuhannya dengan sepenuh hati. Dalam penyerahan diri kepada Allah SWT seorang sufi merasakan dirinya tiada lagi. Tingkat tawakal yang paling tinggi adalah berserah diri bagaikan mayat. 6) Makrifat, yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Pengetahuan yang diperoleh dari makrifat lebih bermutu daripada pengetahuan yang diperoleh akal. Makrifat inilah yang kemudian menimbulkan mahabbah (mencintai Tuhan). Menurut al-Gazali, makrifat dan mahabbah adalah derajat tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi. Mahabbah berarti mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali da ri diri yang dikasihi (Tuhan). Kadar cinta seorang sufi ditentukan oleh kedalaman makrifat yang dimilikinya. Semakin kuat makrifatnya, semakin kuat mahabbah-nya. Penjelasan mengenai jenjang-jenjang yang harus dilalui untuk menjadi seorang sufi ini terdapat dalam Kitab Ihya' 'Ulum ad-Din, terutama pada jilid ketiga dan keempat.

Pemikiran lain yang dikemukakan oleh al-Gazali ialah bahwa ia membagi manusia itu menjadi dua bagian besar, khawas dan awam. Golongan awam mempunyai cara berpikir yang sederhana. Mereka hanya dapat menangkap hal-hal yang tersurat saja. Golongan khawas dapat berpikir secara mendalam, mengetahui yang tersirat di balik yang ter surat. Menghadapi dua golongan yang berbeda ini, diperlukan pendekatan yang berbeda pula. Orang awam didekati dengan cara memberi nasihat dan petunjuk-petunjuk, sedangkan orang khawas dide kati dengan cara menjelaskan hikmat-hikmat.

Sebelum al-Gazali, tasawuf belum dapat diterima secara luas di dunia Islam, khususnya di kalangan Suni karena dianggap sebagai ajaran yang menyimpang, seperti ajaran Husein bin Mansur al-Hallaj (858-922) dan sebagainya. Melalui buku-bukunya yang menjelaskan pengalaman-pengalaman tasawuf yang tidak bertentangan dengan akidah, tasawuf dapat diterima dan berkembang pesat di lingkungan ahlusunah waljamaah. Hal ini antara lain ditandai dengan timbulnya banyak aliran tarekat.
Bagikan artikel ini

Posting Komentar

0 Komentar