Dari judul asli: Menjawab Fitnah "MARYAM Saudara HARUN"
Seorang pendeta senior yang mengklaim dirinya sebagai peneliti alkitab, berusaha memaksakan hipotesisnya tentang anakronisme dalam Al-Quran pada surah Maryam ayat 28.
Saya sebenarnya tidak begitu berminat mengomentari karena telah belasan kali menulis bahasan yang sama di beberapa forum, baik forum Muslim maupun forum Kristen. Hanya saja, dia, Pdt. Teguh Hindarto (facebook alias: Shem Tov), mengatakan "tidak berminat berdiskusi dengan kualitas ABG" kepada saya (wajah saya sih cocok kalo masih ABG) dan dengan sombongnya memberi link ke blognya yang katanya berbobot.
Tanpa bermaksud merendahkan bapak pendeta, tapi saya ingin mengajak pembaca bersama-sama menelanjangi kesombongan dan kekurang wawasannya (saya enggan menyebut kebodohannya) dalam memahami ayat-ayat Al-Quran meskipun katanya dia mengerti dan dapat berbahasa Arab.
Untuk referensi pembaca, simak tulisan Pdt. Teguh Hindarto (selanjutnya saya sebut Pdt. TH) berjudul: Diskusi Shem Tov (Teguh Hindarto) dengan Moch. Ali
Saya akan langsung ke pokok permasalahan. Saya anggap pemirsa sudah membaca analisis Pdt. TH yang katanya “akurat”.
Ini ayat yang dipermasalahkan,
فَأَتَتْ بِهِ قَوْمَهَا تَحْمِلُهُ قَالُوا يَا مَرْيَمُ لَقَدْ جِئْتِ شَيْئًا فَرِيًّا
يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا
Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina” (QS. Maryam: 27-28)
Pdt. TH menuduh dengan instan bahwa telah terjadi anakronisme, karena pada ayat tersebut Maryam, bunda Isa (as) disebut sebagai "ukhta Harun", atau "saudara perempuan Harun." Padahal, Maryam hidup jauh setelah Harun, sehingga dia yakin Al-Quran keliru merepresentasikan Maryam bunda Isa (as) dengan Miryam yang menurut Keluaran 15:20 memang benar saudara perempuan Harun.
Pdt. TH juga membawakan surah At-Tahrim ayat 12 yang menyebut Maryam binti Imran lalu dikontraskannya dengan Bilangan 26:59 di mana ayah Miryam disebut bernama Amram. Kemiripan nama ini secara instan dianggap sebagai anakronisme oleh Pdt. TH. Kenapa instan? Karena aggapannya itu hanya didasarkan pada asumsi dan persepsi pribadi dengan mengabaikan bukti-bukti lainnya dari sisi historis Al-Quran, tafsir Al-Quran, hingga tradisi bangsa Semitik dan uniknya penggunaan kata-kata tertentu dalam bahasa mereka.
Asumsi yang digunakan Pdt. TH sangat sederhana, yakni “kemiripan nama”. Asumsi sederhana ini membawanya pada kesimpulan bahwa “Allah atau Muhammad keliru menyitir Tanakh kitab Keluaran dan kitab Bilangan” sebagai bukti anakronisme Al-Quran yang tak terbantahkan!
Benarkah demikian?
Perhatikan bantahan mudah berikut:
Perhatikan bantahan mudah berikut:
1. Muhammad SAW sudah tahu bahwa Maryam dan Harun tidak hidup sezaman
Muhammad shallallahu alahi wassalam sudah tahu sejak awal bahwa Maryam ibunda Isa (as) hidup pada zaman setelah zaman Harun. Maka tidak mungkin beliau menyitir, merujuk, apalagi mengutil Tanakh kitab Keluaran dan kitab Bilangan secara keliru, baik langsung maupun tidak langsung. Tidak ada pemahaman Rasulullah SAW bahawa “ukhta Harun” dimaksudkan sebagai saudara kandung Harun.
Berikut (terjemahan) hadits riwayat Al-Bukhari dengan derajat shahih,
Ketika aku datang ke Najran, mereka (orang Kristen Najran) bertanya padaku: Kamu membaca “Yaa ukhta haarun” (Hai, saudara perempuan Harun - Maryam) dalam Qur’an, sedangkan Musa dilahirkan jauh sebelum Yesus. Ketika aku kembali kepada Rasulullah, aku bertanya tentang hal itu, kemudian Nabi menjawab: Mereka (masyarakat zaman) dulu biasa memberi nama menurut nama-nama Nabi dan orang-orang saleh yang telah wafat sebelum mereka.
Fakta yang bisa disimpulkan dari kisah ini adalah:
- Kristen pada zaman itu sudah mempertanyakan hal tersebut, dan telah dijawab pada masa yang sama,
- Frase “sebelum mereka” menunjukkan bahwa Muhammad SAW memahami ayat tersebut dengan pemahaman bahwa Maryam hidup setelah Harun dan oleh karenanya, tentu saja Maryam bukan saudara kandung Harun,
- Muhammad SAW mengetahui tradisi bangsa-bangsa Semitik mengenai penyebutan nama.
Dari sini saja tuduhan anakronisme dalam Al-Quran sudah gugur, bahkan sebelum pertanyaan Pdt. TH muncul.
2. Frase “saudara” tidak selalu bermakna harfiah sebagai hubungan saudara kandung
Di sini Pdt. TH bersikeras (baca: ngotot) bahwa “ukhta Harun” pada ayat tersebut bermakna saudara secara kandung, bukan idiom.
Hal ini menggelikan karena Pdt. TH mengaku banyak mengkaji secara hebraic-aramaic dan juga arabic tapi seolah-olah dia mengabaikan (atau boleh jadi memang "ora mudheng" babar blas) bahwa kata "akhun-ukhtun" dalam bahasa Arab dan kata "ach-achowt" dalam bahasa Ibrani secara etimologis juga mengandung makna "selain hubungan saudara kandung."
Ini contohnya:
Dalam surah Al-A’raaf ayat 65, 73, 85 Nabi Hud, Nabi Saleh dan Nabi Syu’aib dikenal sebagai “saudara” masyarakat mereka masing-masing.
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS. Al-A'raf: 65)
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shaleh. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhammu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al-A'raf: 73)
Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A'raf: 85)
Apakah kata "saudara" dalam ayat-ayat itu bermakna saudara kandung? Jawabnya: "TIDAK!" Dan satu lagi, dalam surah Qaaf ayat 13; disebut dan kaum Aad, kaum Fir’aun dan ikhwanu (kaum) Lut.
Apakah kata "saudara" dalam ayat tsb bermakna saudara kandung? Tentu TIDAK!
Begitu juga dengan alkitab, kata "saudara" tidak selalu bermakna saudara kandung. Ada frase “saudara perempuan Israel”, atau “saudara Yesus” (adelphos) yang semuanya tidak dimaknai sebagai saudara kandung.
الاَخُ-(al) akh – dan الاُخْتُ -(al) ukht – dalam perbendaharaan kata bahasa Arab sama dengan אח – ach – dan אחות – ‘achowth – dalam perbendaharaan kata bahasa Ibrani untuk saudara laki-laki dan perempuan. Dan terbukti penggunaannya (dalam Bible) tidak hanya berarti saudara dalam pengertian saudara kandung. Silahkan periksa dalam kamus strong bernomor 251 dan 269. Justru pemaknaan selain saudara kandung lebih banyak daripada pemaknaan saudara kandung.
Ini sangat jelas. Mungkin Pdt. TH pun sebenarnya sudah tahu, hanya saja merasa perlu ngotot bahwa maknanya adalah saudara kandung. Padahal sejak Al-Quran diturunkan hingga hari ini, sejak zaman nabi Muhammad SAW, zaman Para Sahabat, dan zaman Islam hingga hari ini, tidak ada satu Muslim pun yang secara sesat pikir memaknainya sebagai saudara kandung.
Bukankah ini lucu, memaksakan suatu persepsi keliru yang tidak ada dalam pemahaman Al-Quran yang benar, kemudian ditimpakan sebagai kesalahan Al-Quran? Padahal, sesuai pernyataannya sendiri, “saudara” dapat bermakna selain literal, jika konteksnya menunjukkan demikian. Maka, apakah pak pendeta lupa bahwa Muhammad Rasululah telah menjelaskan makna tersebut 14 abad yang lalu dan juga bukti dari tradisi Semitik sendiri tentang penyebutan seseorang? Justru pak pendetalah yang tetap keukeuh, berkutat hanya pada teks “kemiripan nama” belaka tanpa memahami konteks. Ini sesat pikir. Strawman Fallacy!
3. Maryam bukan Miryam, dan Imran (ayah Maryam) bukan Amram (ayah Miryam, Musa, dan Harun)
Setelah terbukti bahwa Muhammad mengerti Maryam tidak sezaman dengan Harun, maka bukti selanjutnya adalah bahwa Imran ayah Maryam ibu Isa (as) tidak sezaman pula dengan Amram ayah Musa (as), Harun (as) dan Miryam.
(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat. Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.” Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryamdi mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab." (QS. Ali-Imran: 35-37)
Ayat ini membuktikan bahwa Imran, Istrinya, Maryam dan Zakaria hidup sezaman. Dan tentu saja bukan pada zaman Musa dan Harun. Oleh karenanya, tentu saja tidak ada kisah ini (istri Imran menazarkan Maryam) pada kisah Miryam maupun Amram dalam alkitab. Sedangkan Zakaria di situ adalah ayah Yahya (Yohanes Pembaptis). Sudahkah bapak pendeta membaca ayat ini?
Lengkap sudah bukti-bukti yang meruntuhkan tuduhan rapuh anakronisme dalam Al-Quran! Tapi untuk menutupi kegagalannya membuktikan anakronisme dalam Al-Quran, Pdt. TH mengajukan pertanyaan lanjutan; dengan alasan apa Maryam disebut “ukhta Harun”, dan mengapa harus Harun?
Mengapa harus Harun?
Pertama, “ukhta Harun” sebenarnya adalah sindiran bangsa Israel pada zamannya untuk menghina Maryam. Maryam telah dinazarkan oleh Ibunya untuk berkhidmat pada bait Allah. Ayah Ibu maryam dikenal sebagai orang yang saleh oleh masyarakat. Karena itu ketika mendapati Maryam yang telah dinazarkan untuk berkhidmat di bait Allah ternyata mempunyai anak (tapi tidak diketahui siapa ayahnya), maka mereka melontarkan ungkapan ironi kepada Maryam,
“Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina”. (QS. Maryam: 27)
Dengan kata lain, kaumnya ingin menyatakan bahwa ayah ibunya bukan pezina tapi mengapa dirinya berzina? Kaumnya saat itu menuduhnya berzina karena mendapati Maryam melahirkan seorang anak di luar pernikahan. “Saudara perempuan harun” adalah sindiran baginya karena seharusnya ia adalah perempuan yang saleh, bukan pezina.
Kedua, kenapa harus Harun? Saya ingatkan lagi, bahwa “saudara perempuan” tidak selalu bermakna saudara kandung. Boleh jadi karena memiliki relasi dari keturunan seseorang. Misalnya saja, keturunan Yehuda dianggap sebagai "saudara perempuan" Israel. Maka maksudnya adalah keturunan Yehuda bersaudara dengan keturunan Israel lainnya, yang tentu saja mereka bukan saudara kandung, karena selisih jamannya begitu jauh. Begitu pula dengan Maryam yang disebut "saudara perempuan Harun." Maksudnya adalah saudara perempuan dari keturunan Harun, yang tentu saja bukan saudara kandung Harun, karena jika kandung maka jelas termasuk keturunan Harun dan lebih pas disebut “putri Harun”.
Ini juga dapat dijelaskan dari perspektif alkitab. Dikisahkan ibu Maryam mempunyai saudara perempuan yang menikahi laki-laki keturunan Lewi lalu melahirkan anak perempuan bernama Elizabeth. Lukas 1:5 menyebut Elisabeth sebagai “putri Harun”, tentu saja maksudnya bukan putri kandung melainkan keturunan Harun. Ia mendapatkan darah Lewi dari ayahnya. Sedangkan Maryam disebut sebagai sanak, atau saudara Elisabeth, karena ibu mereka bersaudara.
Jadi, sesungguhnya memahami frase “saudara perempuan Harun” dalam Al-Quran itu sama mudahnya dengan memahami frase “saudara perempuan Israel” dalam alkitab. Hanya orang-orang yang menutup hati dan akal budinya saja yang sulit menerima penjelasan sesederhana ini.
Wallahu 'alam bisyawwab.
0 Komentar