“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Ruum: 21)
Ada sebuah opini di Missionaris yang mengatakan bahwa Islam membolehkan suami untuk memukul istrinya. Dan katanya suruhan itu terdapat di dalam Al-Qur`an. Ini jelas merupakan tindakan yang jauh dari beradab dan sangat menghina martabat kaum wanita. Begitulah opini mereka. Bagaimana sikap kita umat Islam dalam menghadapi opini tersebut? Bila kita tidak bisa memberikan penjelasan yang benar, maka akan merugikan Islam dan umat Islam.
Opini yang sangat mendiskreditkan itu memang seringkali dilontarkan oleh Missionaris. Itu terjadi karena ketidaktahuan mereka terhadap Islam yang sesungguhnya, dan sayangnya banyak masyarakat awam di sana yang menelan mentah-mentah opini itu. Padahal tidaklah benar anggapan yang mengatakan bahwa ajaran Islam menganjurkan kepada umatnya untuk melakukan tindakan tidak beradab seperti itu.

Rasulullah bersabda ”la tadhribuu imaalah” yang artinya ”jangan kalian pukul kaum perempuan”. Dan dalam hadits lainnya beliau menjelaskan ”bahwa sebaik-baik lelaki atau suami adalah yang berbuat baik pada istrinya”.

Memang di dalam Al-Qur`an ada sebuah ayat yang membolehkan seorang suami memukul istrinya. Tetapi harus diperhatikan dengan seksama, alasan apa yang melatarbelakangi kapan seseorang boleh memukul istrinya? Istri yang bagaimana? Dalam situasi seperti apa? Tujuannya untuk apa? Dan cara memukulnya bagaimana?.

Ayat tersebut terdapat dalam surat An-Nisa [4] ayat 34 yang artinya:
" .. sebab itu, maka wanita yang sholeh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu kuatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur dan pukulah mereka.Kemudian jika mereka menaati, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Jadi seorang suami boleh memukul istrinya jika ada indikasi istrinya tersebut telah nusyuz. Nusyuz adalah tindakan atau perilaku seorang istri yang tidak bersahabat pada suami. Dalam Islam suami-istri ibarat satu jasad, jasadnya adalah rumah tangga. Keduanya harus saling menjaga, saling mengingatkan, saling menghormati, saling mencintai, saling menyayangi, saling mengasihi, saling memuliakan dan saling menjaga. Istri yang nusyuz adalah istri yang tidak lagi menghormati, mencintai, menjaga dan memuliakan suaminya. Istri yang sudah tidak lagi komitmen pada ikatan suci pernikahan. Misalnya, istri selingkuh dengan pria lain.

Jika seorang suami telah melihat gejala nusyuz dari istrinya maka Al-Qur`an memberikan tuntunan bagaimana mengambil sikap sehingga dapat mengembalikan istrinya ke jalan yang benar. Tuntunan itu terdapat dalam surat An-Nisa ayat 34 seperti yang telah disebutkan diatas. Disitu Al-Qur`an memberikan tuntunan melalui tiga Langkah:
  • Langkah Pertama: Menasehati istri dengan sebaik-baik nasehat.
"Wanita-wanita yang kamu kuatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka." (QS. An-Nisa: 34)

Allah memerintahkan kita untuk mengedepankan nasehat dalam mengatasi istri yang nusyuz, karena nasehat mempunyai pengaruh yang besar dalam memperbaiki perilaku seseorang, terutama wanita. Wantia cenderung mempunyai perasaan yang lembut, yang apabila suami selalu mengingatkannya dengan surga dan ancaman pedihnya adzab Allah, niscaya seorang istri akan mudah tersentuh dengannya. Oleh karenanya, sang suami harus selalu menasehati istri dengan sebaik-baik nasehat.

Nasehat bukan hanya milik seorang suami, tapi seorang istri juga berhak menasehati suaminya jika dia mendapati kesalahan pada diri suami yang sudah menyelisihi aturan Allah. Tapi yang perlu diingat, dalam menasehati harus pandai-pandai memilih kata yang lembut yang tidak menyakiti hati pasangan kita, sehingga nasihat akan mudah diterima dengan baik.
Dalam sebuah riwayat, dari Abu Umamah dia berkata: Sesungguhnya telah datang seorang pemuda pada Nabi shallalahu ‘alayhi wa sallam seraya berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan saya untuk berzina, maka para sahabatnya segera mencelanya “mah-mah” (kalimat cercaan), maka berkatalah Nabi kepadanya: “Sini mendekatlah, maka (pemuda) itu mendekatinya dengan jarak dekat, lalu duduk. Lalu berkatalah (Nabi): “Apa kamu suka (zina) kepada ibumu? Dia jawab: Tidak, demi Allah, Allah menjadikanku enggan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai ibunya. Lalu berkata (Nabi shallalahu ‘alayhi wa sallam): Apakah kamu suka (zina) dengan anakmu? Dia jawab: Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, Allah menjadikanku enggan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai anaknya. Lalu berkatalah (Nabi): “Apa kamu suka (zina) dengan saudaramu perempuan?” Dia jawab: “Tidak, demi Allah, Allah menjadikanku rasa enggan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai saudara perempuannya”. Lalu berkata (Nabi shallalahu ‘alayhi wa sallam): “Apakah kamu suka (zina) dengan bibimu (saudara bapak)?” Dia jawab : “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, Allah menjadikanku rasa engan padanya, tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai bibinya (saudara bapak).” (Nabi) berkata lagi: “Apakah kamu suka (zina) terhadap bibimu (saudara ibu)?” Dia jawab: “Tidak, demi Allah, Allah menjadikanku rasa enggan padanya, dan tidak ada seorangpun kecuali tidak senang menzinai bibinya (saudara ibu). Maka (Nabi shallalahu ‘alayhi wa sallam ) meletakkan tangannya diatas (kepalanya) lalu berdo’a: “Ya Allah, ampuni dosanya, bersihkan hatinya, dan jagalah kemaluannya”. Maka pemuda itu tidak menoleh lagi kepada sesuatu (zina).” [HR. Ahmad]
Dalam menasehati istri, seharusnya suami mencontoh Rasulullah seperti kisah di atas. Suami harus memilah dan memilih kata-kata apa yang pantas diucapkan, sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang lebih rumit. Dengan perkataan yang baik justru akan mendatangkan ridha Allah yag akan memberikan manfaat dalam penyelesaian suatu masalah.

Dalam hal emosi pun, manusia mempunyai emosi yang berbeda-beda satu dari yang lainnya. Ada orang yang cepat marah tapi juga cepat reda marahnya, ada juga yang sulit marah tapi jika sudah marah sulit juga redanya. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga, keduanya harus saling memahami emosi masing-masing pasangannya. Mereka harus berperilaku yang tidak membuat marah pasangannya, serta menghindari waktu-waktu dan hal-hal yang bisa membuat masing-masing pasangan menjadi marah.

Allah Ta'ala berfirman, 
"Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf" (QS. Al-A'raf: 199)

Ayat di atas diturunkan berkenaan dengan akhlak manusia, yang juga harus diterapkan dalam kehidupan rumah tangga. Jika seorang suami mendapati istrinya yang cepat marah, hendaknya dia menasehatinya dengan lemah lembut dan menghindari hal-hal yang bisa membuat sang istri marah. Begitu juga istri, jika dia mendapati suaminya mudah marah, maka hendaknya dia tetap sabar dan menghindari hal-hal yang bisa membuat sang suami marah.

Kemarahan dalam rumah tangga harus sebisa mungkin dihindari, karena dalam kondisi marah seseorang bisa berubah tanpa disadarinya. Orang marah bisa menjadi sangat liar dan tidak terkendali layaknya orang yang kehilangan akal. Makanya, Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda, لا طلاق في إغلاق yang maknanya kurang lebih "tidak ada thalaq dalam kondisi marah". Nabi juga menganjurkan kepada pasangan suami istri hendaknya membiasakan untuk musyawarah dan saling menasehati, agar syetan tidak mudah menyulut api kemarahan di antara keduanya, dan hendaknya mereka saling memahami bahwa mereka hanyalah manusia tempatnya salah dan lupa.

Seorang hakim pun juga tidak boleh menghukumi sesuatu ketika dalam kondisi marah, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam,

لا يقضينَّ حكمٌ بين اثْنينِ وهو غضبان
"Tidak boleh seorang hakim memberi keputusan terhadap dua orang ( yang dibicarakan) sedang dia dalam keadaan marah ( terhadap salah seorang atau sebab lain)". [HR. Bukhari]

Sebagai seorang manusia, marah merupakan hal yang wajar selama masih dalam batas-batasnya dan tidak berlebih-lebihan. Dalam sebuah hadits mauquf dari Aisyah radhiallahu anha menunjukkan bahwa beliau juga pernah marah dan Rasulullah tidak mengingkarinya.
Hadis Aisyah r.a katanya:
Ketika datang berita kepada Rasulullah s.a.w mengenai gugurnya Ibnu Harithah, Jaafar bin Abu Talib dan Abdullah bin Rawahah r.a Rasulullah s.a.w duduk dan kelihatan bersedih hati. Aisyah melihat dari celah pintu. Lalu datanglah seseorang menceritakan perihal isteri Jaafar dan memberitahu mengenai ratapan mereka. Lalu Rasulullah s.a.w menyuruh orang tersebut pergi melarang mereka. Kemudian orang itu pergi dan kembali semula serta memberitahu bahawa: Mereka tidak menghiraukan aku! Rasulullah s.a.w menyuruhnya untuk kali kedua supaya pergi melarang isteri Jaafar tersebut. Kemudiannya orang itu pergi dan kembali sekali lagi serta memberitahu: Demi Allah! Kami tidak berjaya memujuk mereka, wahai Rasulullah! Aisyah berkata: Kalau tidak salah aku, Rasulullah s.a.w bersabda: Pergilah dan sumbatlah tanah ke mulut mereka supaya mereka berhenti dari meratap! Aisyah berkata: Semoga Allah menutup mulut kamu dengan tanah. Demi Allah! Engkau tidak melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w dan engkau tidak ingin meninggalkan Rasulullah s.a.w bebas dari kesusahan. [HR. Muslim]
Kita juga pernah mendengar bahwa Nabi Musa alaihissalam juga pernah marah, beliau pernah membunuh seorang qibthi, beliau juga pernah menyobek lembaran-lembaran, akan tetapi beliau juga mempunyai lautan kebaikan yang begitu banyaknya, sehingga Allah mengampuni beliau.

Ada sebuah teladan hebat bagi seorang istri, dialah Ummu Sulaim ibunda dari Anas bin Malik. Salah satu kisah beliau yang patut menjadi teladan adalah sebagai yang diriwayatkan Anas bin Malik berikut:
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa seorang anak dari Abu Thalhah sakit. Ketika Abu Thalhah keluar, anak itu meninggal. Ketika Abu Thalhah kembali, dia bertanya, “Bagaimana anakku?” Ummu Sulaim menjawab, “Ia dalam kondisi sangat tenang,” seraya menghidangkan makan malam kepadannya, dan dia pun makan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ummu Sulaim berkata, “Jangan beritahukan kepada Abu Thalhah tentang kematian anaknya.” Kemudian ia melakukan tugasnya sebagai isteri kepada suaminya, lalu suaminya berhubungan intim dengannya. Ketika akhir malam, ia berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu bila keluarga si fulan meminjam suatu pinjaman, lalu memanfaatkannya, kemudian ketika pinjaman itu diminta, mereka tidak suka?” Ia menjawab, “Mereka tidak adil.” Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya anakmu, fulan, adalah pinjaman dari Allah dan Dia telah mengambilnya.” Abu Thalhah beristirja’ (mengucapkan: Innaa lillaahi wa innaaa ilaih raaji’uun) dan memuji Allah seraya mengatakan, “Demi Allah, aku tidak membiarkanmu mengalahkanku dalam kesabaran.” Pada pagi harinya, dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala beliau melihatnya, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi kalian berdua di malam hari kalian.” Keberkahan itu, sejak malam itu, mencakup ‘Abdullah bin Abi Thalhah, dan tidak ada pada kaum Anshar seorang pemuda yang lebih baik darinya. Dari ‘Abdullah tersebut lahirlah banyak anak, dan ‘Abdullah tidak meninggal sehingga dia dikaruniai sepuluh anak yang semuanya hafal al-Qur-an, dan dia wajat di jalan Allah. [HR. Bukhari]

Lihatlah, betapa tabah dan santunnya seorang Ummu Sulaim dalam menjalani kehidupan rumah tangganya.

Maka, sudah selayaknya dalam kehidupan kita ada kebiasaan saling menasehati, terutama dalam kehidupan rumah tangga antara suami dan istri. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Umar pernah ingin menceraikan salah satu istrinya, tapi istri lainnya berkata kepadanya, "Apakah engkau ingin menyengsarakan seorang wanita yang rajin puasa dan bertanggung jawab?" Mendengar itu Ibnu Umar mengurungkan niatnya dan tidak jadi menceraikannya. Lihatlah sosok Ibnu Umar yang dengan lapang menerima nasehat dari istrinya, karena tidak mau menerima nasehat termasuk sebuah kesombongan. Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda, "Sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia."

Oleh karena itu, memohonlah kepada Allah dan minta kepada-Nya untuk memperbaiki perilaku pasangan anda. Sebagaimana Allah Ta'ala telah memperbaiki keadaan rumah tangga Nabi Zakaria dan istrinya. Dalam Al-Qur'an disebutkan kisah tentang istri Nabi Zakaria, yaitu firman-Nya,

"Maka Kami memperkenankan do'anya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas . Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami." (QS. Al-Anbiya': 90)

Istri Nabi Zakaria sebelumnya adalah wanita yang mandul, akan tetapi karena kesungguhan beliau dalam berdoa dan memohon kepada Allah, Allah pun menjawab doa beliau, sehingga lahirlah dari rahim beliau seorang Nabi mulia bernama Yahya alaihimussalam.

Perlu diketahui juga, bahwa perilaku pasangan kita terkadang berhubungan dengan perilaku kita juga. Hasan Al-Bashri pernah berkata, "Demi Allah, sungguh aku bisa mengetahui dosaku dari perilaku istriku kepadaku dan perilaku hewan tungganganku." Maka, terkadang sikap pasangan kita kurang baik kepada kita, karena kita berbuat maksiat atau keburukan lainnya. Hal ini senada dengan firman Allah Ta'ala yang artinya,

"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. As-Syuraa: 30)

Perlu diketahui bahwa yang berkuasa mendatangkan kebaikan dan keburukan kepada kita hanyalah Allah Ta'ala, maka Allah pula lah yang mampu menyalakan sekaligus memadamkan segala permasalahan, terutama dalam keluarga. Akan tetapi perlu diingat juga, bahwa masalah yang timbul dalam kehidupan kita juga tidak lepas dari sebab perbuatan diri kita sendiri, maka hendaknya kita senantiasa memperbanyak istighfar kepada Allah Ta'ala, karena dengan istighfar akan menghantarkan kita pada kehidupan yang berbahagia, Allah Ta'ala berfirman yang artinya, Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka.

"Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun" (QS. Al-Anfal: 33)

Maka, dalam menyikapi istri yang tidak taat, anda sebagai suami harus jeli dalam menyelesaikan permasalahan ini. Terkadang seorang suami menganggap istrinya berbuat kesalahan padahal sang istri merasa perbuatannya itu tidak salah. Maka, sebagai suami yang baik jangan langsung memvonis bahwa istri melakukan nusyuz, tapi harus ditanya dahulu dengan baik apa sebab sang istri melakukan perbuatan yang tidak disukai suaminya itu. Sebagai contoh, Nabi Muhammad pun juga berusaha memahami keadaan istrinya, Aisyah radhiallahu anha, sebagaimana disebutkan dalam riwayat,

“Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Sungguh, aku mengetahui bila engkau ridha kepadaku, demikian pula bila engkau sedang marah kepadaku.’ Spontan, Aisyah bertanya, ‘Darimana engkau dapat mengetahui hal itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Bila engkau sedang ridha kepadaku, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad. Adapun bila engkau sedang dirundung amarah, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’’ Mendengar penjelasan ini, Aisyah menimpalinya dan berkata, ‘Benar, sungguh demi Allah, wahai Rasulullah, ketika aku marah, tiada yang aku tinggalkan, kecuali namamu saja.’” [Muttafaqun ‘alaih]

Sebaliknya, Aisyah pun juga selalu berusaha memahami keadaan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam.
  • Langkah Kedua: Pisah ranjang
Hal ini sebagaimana yang diajarkan Al-Qur'an di mana Allah Ta'ala berfirman,

وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
"dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka" (QS. An-Nisa': 34)

Perlu diingat, tahap kedua ini tidak semena-mena dikenakan pada istri yang taat, tetapi lebih untuk istri yang memang sudah pantas untuk mendapat perlakuan tahap kedua ini. Pisah yang dimaksud di sini pun hanya dalam urusan ranjang saja, tidak termasuk urusan-urusan yang lain.

Dalam pelaksanaan hajr (pisahan) ini ada hal yang harus diperhatikan. Sang suami boleh menghajr istrinya tapi tidak boleh mengusirnya keluar rumah atau memulangkannya kepada pihak keluarga istri. Hal seperti ini yang sering dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengerti hakikat hajr. Akan tetapi, jika sang suami memang ingin menenangkan diri, dia boleh keluar rumah misalnya ke masjid. Keluarnya suami itu lebih baik dari pada istri yang keluar. Tetapi, jika sang istri memang meminta untuk pulang ke keluarganya demi kemaslahatan, sang suami juga tidak boleh melarangnya, sehingga timbullah saling menghargai di antara kedua pasangan walau ketika ada masalah.

Bentuk pelaksanaan Hajr:
Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai bentuk hajr itu sendiri, sebagian ulama mengatakan bahwa hajr yaitu saling membelakangi antara suami dan istri ketika di atas ranjang. Sebagian yang lain mengatakan bahwa hajr yaitu meninggalkan jima' (hubungan pasutri). Sebagian lain lagi mengatakan bahwa hajr itu pisah ranjang antara suami dan istri.

Adapun lama waktu hajr berakhir ketika sang istri sudah taubat dari nusyuznya dan meminta maaf kepada suami, karena alasan adanya hajr adalah adanya nusyuz dari istri yang dimaksudkan untuk mendidik dan memberi pelajaran bagi istri. Maka, jika tujuan sudah tercapai, masa hajr pun juga harus segera diakhiri.maksimal hajr adalah tiga hari, meskipun istri masih terus-terusan nusyuz karena suami bisa melakukan cara hajr yang lain. Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ
“Tidak halal bagi seorang muslim melakukan hajr (boikot dengan tidak mengajak bicara) lebih dari tiga hari” [HR. Bukhari no. 6076 dan Muslim no. 2558].
  • Langkah ketiga: Memukul istri (dengan pukulan yang tidak menyakitkan) 
Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala,

وَاضْرِبُوهُنَّ
"dan pukullah mereka." (QS. Al-Anfal: 34)

Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan maksud memukul pada ayat di atas, yaitu pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak menimbulkan bekas di anggota tubuh. Walaupun begitu, menahan diri untuk tidak memukul sebisa mungkin juga merupakan sunnah Nabi shalallahu alaihi wa sallam, karena Rasulullah tidak pernah memukul istri maupun pembantu beliau kecuali dengan pukulan ringan saja.

Setelah tiga tahapan dalam menghadapi sikap istri yang nusyuz di atas, Allah Ta'ala melanjutkan firmannya,

فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً
"Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya . Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." (QS. An-Nisa': 34)

Dan perbaikan istri dengan cara pukulan ini bukanlah sebagai penghinaan atasnya, bukan pula balas dendam atau penyiksaan. Tapi yang diinginkan di sini adalah pukulan dalam rangka mendidik, memperbaiki dan meluruskan. Pukulan yang dibarengi rasa kasih sayang suami kepada sang istri. Bukan pukulan yang keras hingga membuat istri lari dari suaminya, menumbuhkan kebencian, dan memupus rasa cinta. Sekalipun pukulan ini pahit, namun bagi seorang wanita hancurnya rumah tangga lebih terasa pahit dan menyakitkan.

Pukulan yang dalam bahasa Arabnya disebut Adh-Dharb dimaknakan oleh para fuqaha dengan makna yang umum, yaitu nama dari suatu perbuatan yang menyakitkan yang ditujukan pada tubuh, baik meninggalkan bekas ataupun tidak, tanpa memerhatikan alat pukul yang digunakan. (Tabyinul Haqa`iq Syarhu Kanzud Daqa`iq, Az-Zailaghi, 3/156) Pukulan itu ada yang diistilahkan dharb mubarrih dan ada dharb ghairu mubarrih.

1. Dharb mubarrih, adalah pukulan yang keras hingga dikhawatirkan akan mematahkan tulang, menghilangkan nyawa, atau mencacati anggota tubuh serta memburukkannya. Pukulan yang seperti ini dilarang oleh syariat dan termasuk perkara yang diharamkan.2. Dharb ghairu mubarrih, adalah pukulan ringan yang tidak mengucurkan darah serta tidak dikhawatirkan menimbulkan kebinasaan jiwa atau cacat pada tubuh, patah tulang, dan sebagainya.

Namun hendaklah seorang suami memperhatikan aturan Islam yang mengajarkan bagaimanakah adab dalam memukul istri:

(a). Memukul dengan pukulan yang tidak membekas, sebagaimana nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wada’,

وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas” [HR. Muslim no. 1218].

Jika seorang suami memukul istri layaknya petinju –Mike Tyson-, maka ini bukanlah mendidik. Sehingga tidak boleh pukulan tersebut mengakibatkan patah tulang, memar-memar, mengakibatkan bagian tubuh rusak atau bengkak.


(b)). Tidak boleh lebih dari sepuluh pukulan,
sebagaimana pendapat madzhab Hambali. Dalilnya disebutkan dalam hadits Abu Burdah Al Anshori, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَجْلِدُوا فَوْقَ عَشْرَةِ أَسْوَاطٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ
“Janganlah mencabuk lebih dari sepuluh cambukan kecuali dalam had dari aturan Allah” [HR. Bukhari no. 6850 dan Muslim no. 1708].

(c). Tidak boleh memukul istri di wajah
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ
“Dan janganlah engkau memukul istrimu pada wajahnya” [HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih].

Demikian juga hadits:

إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ أَخاَهُ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ
“Apabila salah seorang dari kalian memukul saudaranya4 maka hendaknya ia menjauhi wajah.” [HR. Muslim no. 6594]

فلاَ يَلْطِمَنَّ الْوَجْهَ “
" …maka jangan sekali-kali ia menampar wajah.” [HR. Muslim no. 6597]

‘Aisyah menceritahkan mengenai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً لَهُ قَطُّ وَلاَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah”. [HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim]

(d). Yakin bahwa dengan memukul istri itu akan bermanfaat untuk membuatnya tidak berbuat nusyuz lagi. Jika tidak demikian, maka tidak boleh dilakukan.

(e). Jika istri telah mentaati suami, maka tidak boleh suami memukulnya lagi. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).

pukulan diperlukan manakala terjadi kerusakan dalam rumah tangga dan terjadi pelanggaran akhlak. Namun pukulan dilakukan hanyalah bila suami memandang si istri akan menyesal dan bertaubat dari kesalahannya bila dipukul. Dan yang perlu diingat selalu, seorang suami diperintah untuk berlaku lembut kepada istrinya, tidak mendzaliminya. Allah berfirman:

“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa`: 19)

Rasulullah menetapkan:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا, وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ 
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” [HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284]

Demikian beberapa solusi yang ditawarkan oleh Islam untuk mendidik wanita yang durhaka kepada suami maupun kepada Allah menjadi wanita yang baik.

Allah Ta’ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim : 6)

Syubhat dan Bantahan
Musuh-musuh Islam tak henti-hentinya melekatkan citra buruk terhadap Islam karena agama ini membolehkan memukul istri di mana mereka menganggap hal itu sebagai penghinaan kepada kaum wanita. Maka kita katakan kepada mereka, “Memang syariat Islam membolehkan memukul istri. Akan tetapi perlu ditanyakan kapan pukulan dibolehkan? Dan kepada siapa?”

Tentunya pukulan dilakukan bila tidak didapatkan lagi cara lain. Nasihat dan hajr sudah tidak bisa mengembalikan si istri dari maksiatnya. Bila demikian, manakah yang lebih baik: membiarkan si istri dalam penyimpangannya, berbolak balik dalam kerusakan dan kemungkaran, yang pada akhirnya akan menggoncangkan rumah tangga dan memecah belah keutuhannya? Ataukah mengambil tangannya untuk dituntun kepada kebaikan? Bila tidak bisa dinasihati dengan baik-baik maka di-hajr. Jika tidak berpengaruh juga maka barulah ‘diobati’ dengan pukulan. Manakah yang lebih baik, si istri dipukul dengan pukulan ringan untuk mengembalikannya kepada kelurusan, ataukah membiarkannya hingga akhirnya diambil keputusan cerai yang dengannya akan tercerai berailah keutuhan keluarga? (An-Nusyuz, hal. 47)

Wallahul musta’an, jawabannya tentu jelas bagi orang yang berpandangan lurus dan dapat berpikir dengan sehat.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.