Masalah serius bagi setiap Muslim!
Al-Qur’an menyatakan: “Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa. Kecuali Allah menghendaki.” (Al-A’la [87]:6-7).Sementara Al-Bukhari meriwayatkan, dari Aisyah, ia berkata: Pada suatu malam Nabi mendengar seseorang yang sedang membaca Al-Qur’an di dalam masjid. Lalu beliau berkata: ”Semoga Allah selalu memberi rahmat kepadanya - ia telah mengingatkanku beberapa ayat yang tersilap dariku pada surat ini dan surat itu.Pada riwayat lain dsebutkan “terlupa” sebagai pengganti “tersilap”Ini artinya, Nabi kalian melupakan atau mengabaikan ayat-ayat Al-Qur’an yang ia kehendaki, maka bagaimana mungkin kalian mengatakan bahwa ia telah menyampaikan Al-Qur’an secara keseluruhan?
Jawaban
Para ulama Islam mengatakan: Apabila kealpaan Nabi terjadi pada sesuatu yang tidak diperintahkan untuk menyampaikannya (seperti masalah kehidupan biasa), maka hukum kealpaan ini boleh jadi terjadi secara mutlak, karena beliau juga diciptakan dengan membawa tabiat manusia biasa.
Sedangkan jika kealpaan itu terjadi pada sesuatu yang harus disampaikannya, maka hukum kealpaannya juga boleh terjadi, namun dengan dua syarat:
Syarat pertama: Kealpaan terjadi setelah disampaikan. Namun, apabila belum disampaikan maka kealpaan tidak boleh terjadi sama sekali.
Syarat kedua: Kealpaannya tidak berlarut-larut, beliau harus mengingatnya, baik dari dirinya sendiri, ataupun melalui orang lain.
Para ulama juga mengatakan: Kealpaan beliau dalam hafalan Al-Qur’an terbagi menjadi dua. Bentuk yang pertama ialah: kealpaan yang langsung diingat dalam waktu dekat. Penyebab terjadinya kealpaan ini adalah karena tabiat kemanusiaannya. Hal ini ditunjukkan melalu sabda beliau: “Sesungguhnya aku hanyalah manusia layaknya kalian, karenanya aku juga dapat lupa seperti kalian.” [Hadist Muttafq alaih]
Kealpaan bentuk pertama ini dapat dihilangkan dengan mudah, karena Allah telah berfirman: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]:9)
Bentuk yang kedua adalah: Kealpaan yang berlangsung terus menerus. Penyebab terjadinya kealpaan ini adalah karena memang Allah mengangkat ingatan tersebut dari hatinya, sebab ingatan itu sudah tidak diperlukan lagi setelah bacaan dari ayat itu telah dinasakh.
Arti Nasakh adalah pergantian bacaan ayat dengan bacaan ayat lainnya, atau hukum dengan hukum lainnya, atau kedua-duanya/mengganti bacaan ayat serta hukumnya dengan bacaan ayat dan hukum yang lain.
Hal tersebut ditunjukkan melalu firman Allah: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” (QS. Al-Baqarah [2]:106)
Adapun mengenai firman Allah: “Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa. Kecuali Allah menghendaki.” Ini merupakan jaminan kehormatan bagi diri Nabi, setiap kali dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada beliau, maka beliau tidak akan melupakannya.
Kata “Laa” (tidak akan) pada yat di atas berfungsi sebagai “Laa nafiyah”, dan maknanya adalah: Allah memberitahukan kepada Nabi-Nya bahwa beliau tidak akan melupakan ayat-ayat yang dibacakan kepadanya. Sedangkan kata “illa” (kecuali) terkait dengan kalimat selanjutnya, yaitu kehendak Allah, dan maknanya adalah: apabila Allah menghendaki beliau melupakan ayat-ayat itu, maka beliau pasti akan lupa, namun tentu Allah tidak menghendaki demikian, karena Allah telah berfirman:
“Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya di dadamu dan membacakannya, sehingga engkau menjadi pandai dan lancar dalam membacanya." (QS. Al-Qiyamah [75]:17)
Maka pernyataan yang ingin disampaikan pada ayat di atas tadi adalah tidak ada yang luput dari diri Nabi sama sekali, namun setelah itu ada pengecualian, agar menjadi lebih jelas bahwa ingatan beliau masih dalam jalur kehendak Allah, karena apabila allah menghendaki beliau terlupa maka tidak ada apa pun atau siapa pun yang dapat mencegah-Nya, sebab segala sesuatu berada dalam Kuasa-Nya.
Selengkapnya lagi, untuk membantah tudingan yang “asbun” (asal bunyi) di atas, dengan mengatakan bahwasanya kealpaan Nabi terhadapa suatu ayat dapat mempengaruhi kesempurnaan penyampaian seluruh isi Al-Qur’an, maka kami katakan:
Pertama: Sesungguhnya ayat-ayat yang tersilap dari Nabi kemudian teringat kembali, semuanya telah diabadikan melalui tulisan seperti ayat-ayat lainnya, karena acap kali ada ayat yang diturunkan kepada beliau pasti penulis wahyu akan mencatat ayat-ayat tersebut. Lagipula, semua ayat yang diturunkan juga terjaga di dalam dada para sahabat beliau yang selalu mengulang-ulangnya, dan jumlah mereka yang menghafal itu mencapai derajat “tawatur” (yakni, jumlah itu tidak memungkinkan adanya kesepakatan untuk lupa atau berbohong).
Dan pada dasarnya hadist di atas tidak ada kata-kata yang mengisyaratkan bahwa seluruh sahabat Nabi juga terlupa, oleh karena itu tidak ada alasan untuk merasa khawatir akan hilangnya satu ayat pun.
Kedua: Riwayat hadist tersebut tidak menunjukkan bahwa ayat-ayat yang tersilap dari Nabi telah terhapus dari pikiran beliau begitu saja, namun yang ditunjukkan dari riwayat itu adalah bahwa ayat-ayat tersebut tersilap dari beliau lalu teringat dan hadir kembali di benaknya setelah beliau mendengar ayat-ayat itu dilantunkan oleh sahabatnya. Tentu saja tersilap itu tidak sama dengan terhapus, karena tersilap dapat disebabkan oleh banyaknya tugas pemikiran yang ahrus diemban akalnya, sedangkan terhapus hukumnya mustahil bagi diri Nabi.
Ketiga: Kata “tersilap” pada hadist tersebut kemudian diterjemahkan oleh riwayat lain dengan makna “terlupa”, dan ini menunjukkan bahwa kesilapan Nabi disebabkan oleh kealpaannya bukan karena disengaja. Maka dari itu, tuduhan-tuduhan yang mengatakan bahwa mungkin saja Nabi tersilap beberapa ayat Al-Qur’an secara sengaja tidak dapat dibenarkan.
Imam An-Nawawi mengatakan: “kalimat Nabi ‘aku terlupa’ ini sebagai dalil kemungkinan terjadinya kesilapan dari Nabi akan apapun yang beliau telah sampaikan kepada umatnya.”
Beberapa ulama ada juga yang berpendapat bahwa ayat-ayat yang tersilap dari Nabi adalah ayat-ayat yang telah dinasakh oleh Allah, namun sahabat yang melantunkan itu tidak mengetahuinya, kemudian setelah Nabi mendengarnya, beliau segera memberi-tahukan kepada sahabat itu tentang ayat-ayat yang telah dinasakh itu.
Kemudian kami juga telah menyampaikan berulang-ulang kali, seandainya Nabi ingin menyembunyikan sesuatu dari ayat-ayat Al-Qur’an, atau kesilapan Nabi itu dilakukan secara sengaja (seperti yang penuding katakan), maka banyak sekali ayat-ayat yang seharusnya beliau sembunyikan, seperti beberapa ayat dari surat Abasa itu, atau yang lainnya.
Keempat: Malaikat Jibril selalu mengontrol dan memeriksa hafalan Al-Qur’an Nabi setiap tahunnya di bulan Ramadhan, dengan tujuan tidak lain agar ayat-ayat Al-Qur’an yang telah disampaikan kepada beliau tidak terlupa, bahkan di penghujung hidup Nabi, malaikat Jibril memeriksa hafalan beliau secara lengkap sebanyak dua kali.
Kelima: Seringnya Nabi mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, atau melantunkannya pada setiap kesempatan, atau pada khutbah-khutbahnya, atau dalam shalat-shalatnya, semua ini juga turut membantu beliau untuk menghafal Al-Qur’an dengan baik dan mengamalkannya.
0 Komentar