Berdasarkan sumber Islam yang diplintir oleh Ali Sina berikut ini, Misionaris Kristen menuduh nabi SAW melakukan perzinahan (pemerkosaan) terhadap Shafiyah binti Huyai sebelum menikahinya.
“Safiyah dilahirkan di Medina. Ia berasal dari suku Yahudi Banu I-Nadir. Ketika suku ini diusir dari Medina tahun 4 AH, Huyai adalah salahsatu dari orang-orang yang menetap di wilayah subur Khaibar bersama Kinana Ibn al-Rabi’ yang menikahi Safiyah sesaat sebelum Muslim menyerang Khaibar. Ia berumur 17 tahun. Sebelumnya ia adalah istri dari Sallam Ibn Mishkam yang menceraikannya. Disinilah, satu mil dari Khaibar, Nabi menikahi Safiyah. Dia dipelihara dan dirawat untuk Nabi oleh Umm Sulaim, ibu dari Anas Ibn Malik. Mereka menginap disana. Abu Ayyub al-Ansari menjaga tenda Nabi sepanjang malam. Pada saat subuh, Nabi yang melihat Abu Ayyub berjalan hilir mudik itupun bertanya kepadanya apa maksudnya, dan ia menjawab: “Saya khawatir akan engkau karena perempuan muda itu. Engkau telah membunuh ayahnya, suaminya, dan banyak dari keluarganya, dan dia juga masih seorang kafir. Saya sungguh khawatir terjadi apa-apa karena dia. Nabipun mendoakan Abu Ayyub al-Ansari (Ibn Hisham, p.766). Safiyah telah meminta kepada Nabi untuk menunggu hingga ia telah lebih menjauh dari Khaibar. “Kenapa?” tanya Nabi. “Saya mengkhawatirkan engkau karena orang-orang Yahudi yang masih dekat dengan Khaibar!”

JAWABAN
Kisah di atas adalah sebuah ringkasan sejarah tentang pasca penaklukkan Khaibar. Entah dasar dari mana, penuding mengartikan literatur di atas, bahwa nabi SAW memiliki sifat tercela seperti (fitnah mereka terhadap) nabi telah melakukan perzinahan atau bahkan pemerkosaan kepada Shafiyah sebelum beliau SAW mengambilnya jadi istri. Semoga Allah melaknat (mereka) para pendengki dan penghujat agama yang lurus dan nabi yang mulia ini.

Mari perhatikan kata per kata dari literatur tabaqat yang dijadikan rujukan tersebut, lalu kita sejenak berhenti pada kalimat:

”Sebelumnya ia adalah istri dari Sallam Ibn Mishkam yang menceraikannya. Disinilah, satu mil dari Khaibar, Nabi menikahi Safiyah. Dia dipelihara dan dirawat untuk Nabi oleh Umm Sulaim, ibu dari Anas Ibn Malik.”

Maka akan terbukti kebohongan dan fitnah mereka, sebab dalam rangkaian cerita literatur di atas,Nabi SAW sudah terlebih dahulu menikahi Shafiyah. Dan oleh penuding, atas dasar asumsinya, mengutip cerita tersebut (penekanan) mereka lebih kepada kalimat:

“Mereka menginap disana. Abu Ayyub al-Ansari menjaga tenda Nabi sepanjang malam. Pada saat subuh, Nabi yang melihat Abu Ayyub berjalan hilir mudik itupun bertanya kepadanya apa maksudnya, dan ia menjawab: “Saya khawatir akan engkau karena perempuan muda itu. Engkau telah membunuh ayahnya, suaminya, dan banyak dari keluarganya, dan dia juga masih seorang kafir. Saya sungguh khawatir terjadi apa-apa karena dia. Nabipun mendoakan Abu Ayyub al-Ansari.” (Ibn Hisham, p.766).

Apakah salah, Nabi SAW menginap bersama Shafiyah yang notabene sudah sah menjadi istri beliau? Dimanakah perbuatan tercela beliau pada kisah ini? Sementara beliau SAW adalah orang yang terjaga dari perbuatan maksiat, bahkan untuk berduaan dengan seorang yang BUKAN muhrimnya saja, beliau sangat mengharamkam perbuatan tersebut, apalagi sampai melakukan tindakan asusila? Naudzubillahi min dzalik!

Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali wanita disertai muhrimnya. Dan seorang wanita itu juga tidak boleh bepergian sendirian, kecuali ditemani oleh mahramnya.” [Shahih Muslim: 2391]

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita melainkan yang ketiganya adalah setan.” [HR.Tirmidzi 2165]

QS. 17.32. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

Dan masih banyak lagi sifat-sifat mulia rasulullah SAW dan larangan-larangan serta keladanan yang ditunjukkan oleh beliau agar tidak berbuat maksiat dan melakukan perbuatan tercela lainnya.

Adapun dari sikap Abu Ayyub al-Ansari yang melakukan penjagaan sepanjang malam di depan tenda nabi adalah sikap yang menggambarkan kesetiannya kepada nabi yang memang selalu menjaga perkemahan nabi ketika beliau sedang istirahat setelah menaklukan Khaibar.

Riwayat tentang penjagaan Abu Ayyub tersebut adalah sebagai berikut:
“Pada malam itu nabi SAW bermalam di sebuah kemah tempat kediaman beliau selama di Khaibar bersama ISTRI BELIAU yang baru dikawini (Shafiyah) itu. Pada malam itu Abu Ayyub al-Anshari, tanpa diketahui oleh Nabi, mengawal dengan pedang terhunus sepanjang malam di depan kemah Nabi. Abu Ayyub melakukan itu karena sangsi dan curiga, kalau-kalau wanita Yahudi yang baru dikawini oleh Nabi SAW itu berbuat jahat atas diri beliau." Kecurigaan Abu Ayyub itu didasarkan karena ayah dari wanita itu mati terbunuh oleh kaum muslimin dengan perintah Nabi SAW Dan suami wanita itu mati juga karena bertempur dengan tentara kaum muslimin yang dipimpin Nabi SAW. Sampai pagi hari Abu Ayyub tetap mengawal dan mengelilingi kemah Nabi. Maka, pada pagi harinya setelah Nabi melihat Abu Ayyub mengawal dan mengelilingi kemah beliau dengan pedang terhunus, beliau pun bertanya, “Hai Abu Ayyub, rnengapa engkau berbuat seperti ini?” Sahabat yang amat setia itu menjawab, “Karena saya khawatir, ya Rasulullah! Saya sangat mengkhawatirkan engkau, kalau-kalau wanita itu berbuat jahat kepada engkau. Karena selalu teringat oleh saya bahwa ayah wanita itu, suaminya, dan kaumnya telah mati dibunuh oleh dan atas perintah engkau.” Mendengar jawaban Abu Ayyub, Nabi SAW. lalu diam sambil tersenyum. Demikianlah di antara kesetiaan sahabat Nabi saw. terhadap beliau.” [Tarikh jilid 2]

Dan (lalu) kemudian mereka (para penghujat) menghubungkannya dengan kitab Tabaqat yang bunyinya seperti di bawah ini, agar terkesan—menurut asumsi mereka yang didasari atas kebencian— seolah-olah nabi melakukan pemaksaan (pemerkosaan):

“Safiyah telah meminta kepada Nabi untuk menunggu hingga ia telah lebih menjauh dari Khaibar. “Kenapa?” tanya Nabi. “Saya mengkhawatirkan engkau karena orang-orang Yahudi yang masih dekat dengan Khaibar!”

Bahwa pernyataan Shafiyah di atas adalah sebuah kekhawatiran sekaligus menunjukan rasa cinta dan perhatiannya kepada nabi, sebab tempat orang-orang Yahudi dengan jarak mereka saat itu masih sangat dekat . Yang dengan segala kemungkinan, bisa saja orang-orang Yahudi yang sudah terkalahkan itu datang menyusul untuk melakukan balas dendam. Bukan seperti tudingan si penghujat yang mengatakan nabi SAW melakukan pemaksaan, atau percobaan pemerkosaan atau apapun namanya.

Maka begitu jarak kaum muslimin dengan orang-orang Yahudi sudah dianggap cukup jauh (12 mil dari Khaibar), beliau turun istirahat bersama Shafiyah. Kemudian Ummu Salim mendandani Shafiyah sebagaiman layaknya orang yang akan menikah. Ummu Sinan Al-Aslamiyyah berkata, 

“Shafiyah adalah seorang perempuan yang paling bersih di antara perempuan-perempuan lain. Kemudian Rasulullah SAW memasuki rumah keluarganya. Tatkala hari sudah pagi, aku bertanya kepada Shaiiyyah mengenai apa yang dikatakan Rasulullah SAW. kepadanya. Lalu dia bercerita, ‘Rasulullah bertanya kepadaku, ‘Kenapa kamu tidak mau berhenti pada tempat yang pertama? Aku menjawab, Aku takut engkau terlalu dkat dengan ternpat orang-orang Yahudi.”’

Dan Shafiyah adalah sosok yang paling benar dan ini telah disaksikan sendiri oleh Rasulullah SAW. Bahwa keputusannya untuk tidak berhenti pada tempat yang pertama adalah benar.

Seperti apa sosok Shafiyah itu? 
Berikut riwayat singkat kehidupannya: Nama lengkapnya adalah Shafiyya binti Huyai bin Akhtahb Al-Yahudi. Ia adalah salah satu tawanan dari perang Khaibar. Pada perang itulah keluarga terdekatnya meninggal dunia, di antaranya: suami, ayah, saudara laki-laki dan pamannya. Lalu sebagai penghormatan, duka cita dan kasih Nabi terhadapnya, beliau akhirnya menikahi Shafiyah.

Sebelum Shafiyah dinikahkan dengan suami pertamanya, ia sebenarnya pernah bermimpi melihat bulan purnama terjatuh ke dalam kamarnya.

Anar R.A berkata, bcrkata, ”Rasulullah ketika hendak menikahi Shafiyah binti Huyai, beliau SAW bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau ketahui tentang diriku?’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku Sudah mengharapkanmu sejak aku masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah memeluk Islam.”

Ungkapan Shafiyah tersebut menunjukkan rasa percayanya kepada Rasulullah dan rindunya terhadap Islam. Bukti-bukti yang jelas tentang keimanan Shafiyah dapat terlihat ketika dia memimpikan sesuatu dalam tidurnya, kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suami pertamanya (Al-Harits bin Harb).

Mengetahui takwil dari mimpi itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyah sehingga berbekas di wajahnya. Rasulullah melihat bekas di wajah Shafiyah dan bertanya, ”Apa ini?” Dia menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib, kernudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku, Kinanah. Dia berkata, ’Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang datang dari Madinah? Kemudian dia menampar wajahku.”

Ibn Sa‘ad meriwayatkan dari Nha ibn Yasar, dia berkata, “Ketika Shafiyah datang dari Khaibar, dia tinggal di rumah Haritsah ibn Al-Nu‘man. Para perempuan Anshar mendengar kabar ini dan langsung mendatangi rumah Haritsah untuk me lihat kecantikannya, termasuk Aisyah yang datang untuk menyelidikinya. Setelah Aisyah ra keluar, Rasulullah SAW lalu menanyakan kesannya terhadap Shafiyah seraya bertanya, ‘Bagaimana kamu menilainya?’ Aisyah menjawab, Aku hanya melihat seorang perempuan Yahudi. ‘Nabi bersabda Iagi, janganlah kamu berkata seperti ini, karena dia telah memeluk Islam.”

Kecemburuan seperti ini bukan hanya menimpa Aisyah r.a., melainkan sudah menyebar ke dalam hati semua istri Nabi SAW.

Ibn Sa‘ad meriwayatkan lagi dari Aisyah., “Suatu saat Rasulullah SAW sedang dalam perjalanan, lalu kemudian unta kepunyaan Shafiyah mengalami sakit, sedangkan Zainab binti Jahsy memiliki unta yang lain. Rasulullah SAW pun bersabda kepada Zainab, ‘Uma kepunyaan Shaiiyyah terkena sakit, bisakah kamu memberinya unta yang lain?’ Zainab menjawab, ‘Mengapa aku harus memberi perempuan Yahudi itu?’ Karena sikap Zainab yang seperti itu, Rasulullah Saw meninggalkannya pada bulan Dzulhijjah dan Muharram, dan tidak pernah mendatanginya. Zainab berkata, ‘Bahkan sampai aku merasa putus asa menghadapinya”

Dalam riwayat lain, Shafiyah r.a. bercerita, “Suatu ketika Rasulullah masuk menemuiku, sedangkan aku telah mendengar sesuatu yang telah dikatakan Aisyah dan Hafshah yang menyatakan, ‘Kami lebih mulia di hadapan Rasulullah daripada Shafiyah. Kami adalah istri-istrinya dan putri-putri dari pamannya. Kata-kata itu pun sampai ke telinga Rasulullah, sehinga heliau bersabda, ‘Kenapa tidak kamu (Shaiiyyah) jawab kepada mereka, ‘Bagaimana kalian lebih baik dariku, sementara suami ku adalah Muhammad, ayahku adalah Harun a.s., dan pamanku adalah Musa a.s.?”’

Shafiyah juga merawikan 10 hadits dari Nabi. Di antaranya, ia berkata, “Suatu malam, Nabi beriítikaf di masjid, lalu aku datang mengunjungi Beliau. Setelah selesai mengobrol, aku berdiri dan hendak pulang. Beliau pun berdiri untuk mengantarku. Tiba-tiba dua laki-laki Anshar lewat. Tatkala mereka melihat Nabi, mereka mempercepat langkah mereka. “Perlambatlah langkah kalian! Sesungguhnya ini adalah Shafiyah binti Huyai,’kata Nabi. “Maha suci Allah, wahai Rasulullah, kata mereka. Beliau mengatakan, ‘Sesungguhnya setan itu berjalan pada aliran darah manusia. Sebenarnya aku khawatir, kalau-kalau setan membisikkan tuduhan dusta atau hal yang tidak baik dalam hati kalian.” [HR. Al-Bukhari].

Di hari-hari terakhir kehidupan Utsman bin Affan, Shafiyah menorehkan sikap mulia yang menunjukkan keutamaan dan pengakuannya terhadap kedudukan Utsman bin Affan. Kinanah berkata,“Aku menuntun kendaraan Shafiyah ketika hendak membela Utsman. Kami dihadang oleh Al-Asytar, lalu ia memukul wajah keledainya hingga miring. Melihat hal itu, Shafiyah berkata, “Biarkan aku kembali, jangan sampai orang ini mempermalukanku.” Kemudian, Shafiyah membentangkan kayu antara rumahnya dengan rumah Utsman guna menyalurkan makanan dan air minum.”

Sikap mulia ini menunjukkan ketidaksukaan Ummul Mukminin Shafiyah terhadap orang-orang yang menzhalimi dan menekan Utsman, bahkan membiarkannya kelaparan dan kehausan.

Ibnu Al-Atsir dan An-Nawawi rakimahumallah, memujinya seperti berikut, “Shafiyah adalah seorang wanita yang sangat cerdas.” Sedangkan Ibnu Katsir rahimahullah, berkata, “Shafiyah adalah seorang wanita yang sangat menonjol dalam ibadah, kewaraían, kezuhudan, kebaikan, dan shadaqahnya.”

Shafiyah juga adalah orang yang jujur. Hal ini dapat dilihat dari kesaksian Rasulullah terhadap kejujuran Shafiyah dan memuliakannya dengan kesaksian dari mulut yang tidak berkata berdasarkan hawa nafsunya.

Ibn Sa‘ad meriwayatkan dari Zaid ibn Aslarn, “Suatu hari istri-istri Nabi berkumpul di hadapan Nabi yang sedang sakit sebelum wafatnya. Lalu Shafiyah berkata, ‘Wahai Nabi utusan Allah, demi Allah, sungguh aku sangat senang selama engkau bersamaku. Kemudian istri-islri Nabi yang lain saling memberi isyarat dengan pandangannya. Melihat hal itu, beliau bersabda, ‘Berkumur-kurnurlah kalianl’ Mereka pun bertanya, ‘Untuk alasan apa, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Karena isyarat pandangan kalian kepadanya.”

Shafiyah benar-benar orang yang jujur. Shafiyah hidup sebagai Ummul Mukminin dengan mulia dan terhormat. Dia wafat pada tahun 52 H pada zaman pemerintahan Muawiyah ibn Abu Sufyan.

Dari uraian jawaban diatas, telah jelas terbukti fitnah mereka yang mengada-ngada. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.

"Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya walau orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 8)

"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiya: 107)